Tuesday, November 2, 2010

Layanan Home Visit


Dalam layanan pendidikan, khususnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. tidak jarang guru harus dihadapkan pada permasalahan-permasahalan non akademik yang terlihat sepele namun cukup krusial dan dapat menghambat proses layanan pendidikan yang optimal.

Anak berkebutuhan khusus memiliki karakter yang unik, khas dan beragam. dalam peristilahan parenting, karakter yang bila menimbulkan dampak yang negatif bagi dirinya dan lingkungan sekitar sering disebut dengan perilaku sulit. salah satu bentuk perilaku sulit anak terutama yang mengalami hambatan kecerdasan adalah motivasi belajar yang rendah. hal ini dikarenakan keterbatasan mereka dalam memahami secara sempurna mengenai manfaat mengapa mereka perlu untuk belajar, disamping keterbatasan guru pula yang belum mampu mengejawantahkan konsep belajar ke dalam bentuk-bentuk yang menyenangkan yang mudah diikuti dan dicerna oleh anak.
salah satu kondisi dari motivasi yang rendah adalah ketidakmauan anak untuk datang ke sekolah dan belajar bersama teman-temannya. kondisi ini dapat disebabkan pula anak mungkin mengalami pengalaman-pengalaman yang buruk di sekolah sehingga mengalami trauma yang berkepanjangan.
Salah satu solusi guna mengatasi permasalahan ini adalah dengan mengunjungi anak ke rumahnya (Home Visit) dengan tujuan akhir anak akan kembali merasa bersemangat untuk kembali datang dan belajar di sekolah.
Home visit dapat diartikan sebagai salah satu layanan pendukung dari kegiatan bimbingan yang dilakukan guru pembimbing atau wali kelas dengan mengunjungi orang tua/tempat tinggal siswa. Kegiatan dalam kunjungan rumah dapat berbentuk pengamatan dan wawancara, terutama tentang kondisi rumah tangga, fasilitas belajar, dan hubungan antaranggota keluarga dalam kaitannya dengan permasalahan siswa. Khususnya bila siswa sudah mogok/mandek untuk datang ke sekolah.

Pelaksanaan kunjungan rumah memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang dari guru pembimbing dan memerlukan kerja sama yang baik dari orang tua serta atas persetujuan kepala sekolah. Fungsi utama bimbingan yang ditopang oleh kegiatan kunjungan rumah ialah fungsi pemahaman.

Langkah-langkah yang mungkin dapat dilakukan adalah :
1. Mengidentifikasi latar belakang anak tidak mau untuk datang ke sekolah (apakah karena faktor lingkungan fisik, teman sebaya, guru, atau hal-hal lain yang mempengaruhi). informasi ini dapat diperoleh dari hasil wawancara dengan orang tua siswa atau dari siswa itu sendiri. latar belakang tersebut perlu diatasi atau bila perlu dihilangkan agar ketika anak kembali ke sekolah, anak tidak mengalami pengalaman negatif yang sama.
2. Menentukan tujuan jangka pendek dan jangka panjang. misalkan dalam waktu 2-3 minggu, motivasi anak mulai terbentuk lagi. dan jangka panjangnya anak mau untuk kembali belajar di sekolah.
3. Menentukan langkah-langkah kegiatan per hari secara terperinci.
4. Mencatat kegiatan per hari dan kejadian-kejadian penting yang menjadi acuan pencapaian tujuan jangka pendek.
5. Mengkomunikasikan langkah-langkah dan kejadian penting dengan orang tua siswa dan anggota keluaga yang lain.

Adapun catatan-catatan mengenai home visit ini antara lain :
1. Home visit dapat dilakukan oleh guru kelas ataupun guru pembimbing khusus atau dapat saling bergantian. agar siswa dapat lebih memiliki pengalaman menyenangkan dengan tidak hanya pada satu sosok figur.
2. Home visit tidak harus dilakukan setiap hari dan dalam waktu yang lama. cukup maksimal 2 jam. hal ini untuk menghindari anak bosan. waktu yang singkat ini dapat diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan menjalin kedekatan/kelekatan psikologis antar guru/GPK dengan siswa.
3. Home visit sangat memerlukan kerjasama dan usaha dari orang tua dan anggota keluarga yang lain, yang turut mengkondisikan siswa agar memiliki kesadaran dan motivasinya kembali terbangun untuk kembali ke sekolah.

Dengan pendekatan yang konsisten dan berkesinambungan, permasalahan ini sangat mungkin untuk diatasi guna memberikan layanan pendidikan yang paripurna bagi siswa berkebutuhan khusus.

semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

daftar pustaka :
pengalaman pribadi

http://xpresiriau.com/artikel-tulisan-pendidikan/mengapa-perlu-home-visit/

Thursday, October 21, 2010

LESSON STUDY DALAM PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


Peningkatan kemampuan dan profesionalisme guru harus selalu ditingkatkan. Hal ini menyangkut pada aspek mutu ataupun kualitas pendidikan. Kegiatan lesson study adalah upaya untuk membiasakan guru dalam melakukan proses pembelajaran secara terencana dan sistematis, untuk mendapatkan feed back dari teman. Dengan demikian para guru akan selalu termotivasi untuk berusaha meningkatkan serta memperbaiki kekurangan-kekurangan di dalam proses pembelajaran yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Tujuan dari pelaksanaan lesson study adalah untuk mencari dan menemukan cara-cara mengajar dalam proses pembelajaran yang efektif bagi anak berkebutuhan khusus.

Menurut Slamet Mulayana (2007) Konsep dan praktik Lesson Study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepang-nya disebut dengan istilah kenkyuu jugyo. Adalah Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkan kenkyuu jugyo di Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan Lesson Study tampaknya mulai diikuti pula oleh beberapa negara lain, termasuk di Amerika Serikat yang secara gigih dikembangkan dan dipopulerkan oleh Catherine Lewis yang telah melakukan penelitian tentang Lesson Study di Jepang sejak tahun 1993. Sementara di Indonesia pun saat ini mulai gencar disosialisasikan untuk dijadikan sebagai sebuah model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikkan. Meski pada awalnya, Lesson Study dikembangkan pada pendidikan dasar, namun saat ini ada kecenderungan untuk diterapkan pula pada pendidikan menengah dan bahkan pendidikan tinggi.
Lesson Study bukanlah suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi merupakan salah satu upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil pembelajaran (Akhmad Sudrajat, 2008).

Lesson Study bukan sebuah proyek sesaat, tetapi merupakan kegiatan terus menerus yang tiada henti dan merupakan sebuah upaya untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip dalam Total Quality Management, yakni memperbaiki proses dan hasil pembelajaran siswa secara terus-menerus, berdasarkan data. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning society) yang secara konsisten dan sistematis melakukan perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial memberikan rumusan tentang Lesson Study sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-psrinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Slamet Mulyana, 2007).
Pengembangan pendidikan khususnya pendidikan anak berkebutuhan khusus sesungguhnya telah menjadi pemikiran dan usaha bersama sesuai dengan kencenderungan global pada dekade terakhir ini. Kondisi yang demikian juga menjadi dasar pemikiran dan pengembangan bagi perguruan tinggi yang mengemban misi pendidikan. Di sisi lain, pendidikan merupakan instrumen utama pembangunan sumber daya manusia (SDM). Salah satu arah kebijakan bidang pendidikan memfokuskan pada peningkatan kemampuan akademik dan profesional tenaga kependidikan sehingga mampu meningkatkan mutu pendidikan. Sebagai implementasi dari kebijakan tersebut sudah selayaknya program dan kegiatan pembangunan bidang pendidikan diarahkan untuk mengembangkan profesionalisme guru. Guru sebagai ujung tombak pendidikan, mempunyai peran yang strategis dalam membimbing, mengarahkan dan mengembangkan potensi peserta didik sehingga guru dituntut memiliki kemampuan edukatif, kepribadian yang handal yang menjadi panutan siswa, keluarga, masyarakat. Secara lebih spesifik lagi guru Sekolah Luar Biasa/pendidikan khusus dituntut mempunyai kemampuan yang lebih karena kondisi dari peserta didik yang mempunyai keberagaman baik dari sisi hambatan maupun potensi yang dapat digali.

Pengembangan profesi guru SLB/Pendidikan khusus selama ini dilakukan melalui kegiatan KKG (Kelompok Kerja Guru), MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) maupun K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah). Dari kegiatan tersebut masih dirasakan peningkatan yang belum optimal dari segi ketrampilan mengajar. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka perlu upaya untuk peningkatan ketrampilan mengajar guru, salah satunya melalui Lesson Study.

Secara keseluruhan pelaksanaan Lesson study sangat baik dan memberikan manfaat yang sangat besar terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan khusus (special education). Manfaat yang dapat dipetik dalam pelaksanaan Lesson Study menurut International Whorkshop On Joint Lesson Study 2008 di Yogyakarta, adalah sebagai berikut:
1. Manfaat bagi dunia pendidikan, khususnya proses pembelajaran:
a. Lesson Study memberikan pencerahan dalam proses peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar
b. Dapat memberikan penularan/contoh cara belajar yang baik kepada para guru yang lain
c. Guru semakin kritis terhadap proses pembelajaran, karena setiap guru terlibat langsung dalam memberikan tanggapan terhadap pelaksanaan lesson study
d. Guru akan terangsang untuk membuat perencanaan yang tersistem, terstuktur dan holistik terhadap seluruh program pembelajaran
e. Proses pembelajaran akan semakin menarik dan menyenangkan, sehingga peserta didik akan semakin banyak terlibat langsung dalam proses pembelajaran
f. Evaluasi pembelajaran menyeluruh dari aspek pendidikan, baik koqnitif, afektif maupun psikomotorik
g. Merangsang guru untuk membuat, menyediakan media belajar yang beragam, sehingga dapat membantu peserta didik dalam mengurangi verbalisme terhadap suatu konsep
2. Manfaat Lesson Study terhadap peserta didik dalam proses pembelajaran
a. Peserta didik menjadi pusat pembelajaran
b. Peserta didik akan tertarik terhadap proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan
c. Merangsang peserta didik menjadi pembelajar yang baik dan mandiri dalam belajar
d. Peserta didik mampu mengembangkan seluruh aspek (kognitif, afektif maupun psikomotorik)
e. Merangsang peserta didik untuk meningkatkan rasa sosial terhadap sesama peserta didik sehingga akan terjalin kerjasama yang baik
f. Merangsang imajinasi peserta didik untuk mengembangkan daya kognitifnya
3. Bagi Guru Sekolah Luar Biasa dan Guru Reguler
a. Meningkatkan kompetensi guru dalam pembelajaran yang inovatif untuk menangani anak yang berkebutuhan khusus.
b. Menambah wawasan guru untuk lebih kreatif menggunakan media pembelajaran bahan yang ada di sekitarnya.
c. Lesson study merupakan suatu kegiatan pembelajaran kolaboratif, sehingga menjadikan wadah untuk berdiskusi, bagaimana pembelajaran yang dilakukan guru untuk meningkatkan proses pembelajaran selanjutnya.
d. Lesson study memberikan kesempatan kepada para guru untuk melakukan ujicoba strategi pembelajaran sehingga menjadikan suatu karya penelitian ilmiah/action research.
e. Merupakan cermin bagi guru bagimana siswa belajar dan guru mengajar bagi siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda.
f. Setelah dilakukan lesson study guru memperoleh sesuatu untuk mengambil yang baik sehingga pembelajaran lebih bagus dan professional.
4. Bagi Sekolah
a. Adanya peningkatan pembelajaran dalam kesehariannya
b. Peningkatan perencanaan pembelajaran yang efisien
c. Adanya pendidikan dan pelatihan di sekolah akan menjadi suatu kebiasaan yang baik
5. Bagi Universitas/ Perguruan Tinggi, dan Pemerintah
Sebagai wadah profesionalisme guru untuk menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan antar universitas/ perguruan tinggi, sekolah luar biasa, sekolah reguler atau yang terkait untuk mengadakan kolaborasi membentuk lesson study, sehingga memajukan pendidikan yang akan datang

Berkenaan dengan tahapan dalam Lesson Study khususnya pada pendidikan anak berkebutuhan khusus, dijumpai beberapa langkah-langkah. Menurut Wikipedia (2007) bahwa Lesson Study dilakukan melalui empat tahapan dengan menggunakan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA). Sementara itu, Slamet Mulyana (2007) mengemukakan tiga tahapan dalam Lesson Study, yaitu : (1) Perencanaan (Plan); (2) Pelaksanaan (Do) dan (3) Refleksi (See). Sedangkan Bill Cerbin dan Bryan Kopp dari University of Wisconsin mengetengahkan enam tahapan dalam Lesson Study, yaitu:
a. Form a Team: membentuk tim sebanyak 3-6 orang yang terdiri guru yang bersangkutan dan pihak-pihak lain yang kompeten serta memilki kepentingan dengan Lesson Study.
b. Develop Student Learning Goals: anggota tim memdiskusikan apa yang akan dibelajarkan kepada siswa sebagai hasil dari Lesson Study.
c. Plan the Research Lesson: guru-guru mendesain pembelajaran guna mencapai tujuan belajar dan mengantisipasi bagaimana para siswa akan merespons.
d. Gather Evidence of Student Learning: salah seorang guru tim melaksanakan pembelajaran, sementara yang lainnya melakukan pengamatan, mengumpulkan bukti-bukti dari pembelajaran siswa.
e. Analyze Evidence of Learning: tim mendiskusikan hasil dan menilai kemajuan dalam pencapaian tujuan belajar siswa
f. Repeat the Process: kelompok merevisi pembelajaran, mengulang tahapan-tahapan mulai dari tahapan ke-2 sampai dengan tahapan ke-5 sebagaimana dikemukakan di atas, dan tim melakukan sharing atas temuan-temuan yang ada.

Untuk lebih jelasnya, dengan merujuk pada pemikiran Slamet Mulyana (2007) dan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA), di bawah ini akan diuraikan secara ringkas tentang empat tahapan dalam penyelengggaraan Lesson Study yang dapat dilaksanakan pada pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut;
1. Tahapan Perencanaan (Plan)
Dalam tahap perencanaan, para guru yang tergabung dalam Lesson Study berkolaborasi untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, seperti tentang: kompetensi dasar, cara membelajarkan siswa, mensiasati kekurangan fasilitas dan sarana belajar, dan sebagainya, sehingga dapat ketahui berbagai kondisi nyata yang akan digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Selanjutnya, secara bersama-sama pula dicarikan solusi untuk memecahkan segala permasalahan ditemukan. Kesimpulan dari hasil analisis kebutuhan dan permasalahan menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan RPP, sehingga RPP menjadi sebuah perencanaan yang benar-benar sangat matang, yang didalamnya sanggup mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama pelaksanaan pembelajaran berlangsung, baik pada tahap awal, tahap inti sampai dengan tahap akhir pembelajaran.
2. Tahapan Pelaksanaan (Do)
Pada tahapan yang kedua, terdapat dua kegiatan utama yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru yang disepakati atau atas permintaan sendiri untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun bersama, dan (2) kegiatan pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh anggota atau komunitas Lesson Study yang lainnya (baca: guru, kepala sekolah, atau pengawas sekolah, atau undangan lainnya yang bertindak sebagai pengamat/observer)
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tahapan pelaksanaan, diantaranya:
a. Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disusun bersama.
b. Siswa diupayakan dapat menjalani proses pembelajaran dalam setting yang wajar dan natural, tidak dalam keadaan under pressure yang disebabkan adanya program Lesson Study.
c. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, pengamat tidak diperbolehkan mengganggu jalannya kegiatan pembelajaran dan mengganggu konsentrasi guru maupun siswa.
d. Pengamat melakukan pengamatan secara teliti terhadap interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru, siswa-lingkungan lainnya, dengan menggunakan instrumen pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya dan disusun bersama-sama.
e. Pengamat harus dapat belajar dari pembelajaran yang berlangsung dan bukan untuk mengevalusi guru.
f. Pengamat dapat melakukan perekaman melalui video camera atau photo digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan analisis lebih lanjut dan kegiatan perekaman tidak mengganggu jalannya proses pembelajaran.
g. Pengamat melakukan pencatatan tentang perilaku belajar siswa selama pembelajaran berlangsung, misalnya tentang komentar atau diskusi siswa dan diusahakan dapat mencantumkan nama siswa yang bersangkutan, terjadinya proses konstruksi pemahaman siswa melalui aktivitas belajar siswa. Catatan dibuat berdasarkan pedoman dan urutan pengalaman belajar siswa yang tercantum dalam RPP.
3. Tahapan Refleksi (Check)
Tahapan ketiga merupakan tahapan yang sangat penting karena upaya perbaikan proses pembelajaran selanjutnya akan bergantung dari ketajaman analisis para perserta berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi yang diikuti seluruh peserta Lesson Study yang dipandu oleh kepala sekolah atau peserta lainnya yang ditunjuk. Diskusi dimulai dari penyampaian kesan-kesan guru yang telah mempraktikkan pembelajaran, dengan menyampaikan komentar atau kesan umum maupun kesan khusus atas proses pembelajaran yang dilakukannya, misalnya mengenai kesulitan dan permasalahan yang dirasakan dalam menjalankan RPP yang telah disusun.

Selanjutnya, semua pengamat menyampaikan tanggapan atau saran secara bijak terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan (bukan terhadap guru yang bersangkutan). Dalam menyampaikan saran-saranya, pengamat harus didukung oleh bukti-bukti yang diperoleh dari hasil pengamatan, tidak berdasarkan opininya. Berbagai pembicaraan yang berkembang dalam diskusi dapat dijadikan umpan balik bagi seluruh peserta untuk kepentingan perbaikan atau peningkatan proses pembelajaran. Oleh karena itu, sebaiknya seluruh peserta pun memiliki catatan-catatan pembicaraan yang berlangsung dalam diskusi.
4. Tahapan Tindak Lanjut (Act)
Dari hasil refleksi dapat diperoleh sejumlah pengetahuan baru atau keputusan-keputusan penting guna perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran, baik pada tataran indiividual, maupun menajerial.
Pada tataran individual, berbagai temuan dan masukan berharga yang disampaikan pada saat diskusi dalam tahapan refleksi (check) tentunya menjadi modal bagi para guru, baik yang bertindak sebagai pengajar maupun observer untuk mengembangkan proses pembelajaran ke arah lebih baik.
Pada tataran manajerial, dengan pelibatan langsung kepala sekolah sebagai peserta Lesson Study, tentunya kepala sekolah akan memperoleh sejumlah masukan yang berharga bagi kepentingan pengembangan manajemen pendidikan di sekolahnya secara keseluruhan. Kalau selama ini kepala sekolah banyak disibukkan dengan hal-hal di luar pendidikan, dengan keterlibatannya secara langsung dalam Lesson Study, maka dia akan lebih dapat memahami apa yang sesungguhnya dialami oleh guru dan siswanya dalam proses pembelajaran, sehingga diharapkan kepala sekolah dapat semakin lebih fokus lagi untuk mewujudkan dirinya sebagai pemimpin pendidikan di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Catherine Lewis (2004) Does Lesson Study Have a Future in the United States?. Online: http://www.sowi-online.de/journal/2004-1/lesson_lewis.htm
Lesson Study Research Group online: http://www.tc.edu/lessonstudy/whatislessonstudy.html
Slamet Mulyana. (2007). Lesson Study (Makalah). Kuningan: LPMP-Jawa Barat
Sudrajat, Akhmad (2008). Lesson Study untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Pembelajaran. Tersedia di : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/22/lesson-study-untuk-meningkatkan-proses-dan-hasil-pembelajaran/
Tim International Whorkshop On Joint Lesson Study (2008). Whorkshop On Joint Lesson Study Mathematics And Adapted Physical Education For Special Education Teachers. Yogyakarta
Wikipedia.2007. Lesson Study. Online: http://en.wikipedia.org/wiki/Lesson_study

HUBUNGAN PARENTING (KEPENGASUHAN ORANG TUA) DENGAN PENDIDIKAN LUAR BIASA


PARENTING DALAM RANGKA PENCEGAHAN
Orangtua (ayah dan ibu) merupakan figur yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Menurut Denny Setiawan (2009) “Para orang tua adalah yang pertama kali tahu bagaimana perubahan dan perkembangan karakter dan kepribadian anak-anaknya, hal-hal apa saja yang membuat anaknya malu dan hal-hal apa saja yang membuat anaknya takut. Para orang tualah yang nantinya akan menjadikan anak-anak mereka seorang yang memiliki kepribadian baik ataukah buruk.”.

Ayah dan Ibu (orang tua) memiliki peran dan fungsi masing-masing dalam pembentukan kepribadian seoran anak. Pola kepemimpinan dalam rumah tangga oleh ayah, dan pola pengasuhan oleh ibu sangat menentukan kebahagiaan anak-anak mereka. Marjohan (2009) mengemukakan ada tiga tipe kepemimpinan dan pengasuhan yang secara tak sengaja diterapkan oleh ayah dan ibu, yaitu tipe otoriter, laissez faire dan demokrasi. Orang tua yang otoriter cenderung berwatak keras, suka memaksakan pendapat. Tipe laissez faire adalah orang tua yang suka masa bodoh, serba tidak peduli atas apa yang terjadi, dan tipe demokrasi adalah pola kepemimpinan ayah dan pengasuhan kaum ibu yang menghargai hak hak dan pendapat anak dan anggota keluarga yang lain.

Keluarga yang ideal adalah keluarga yang hangat dan yang demokrasi. Orang tua atau ayah-ibu yang penuh penghargaan dimana kegiatan dalam keluarga dilaksanakan secara kebersamaan menurut peran yang telah disepakati akan sangat menentukan pembentukan kualitas perkembangan anak. Lebih lanjut Denny Setiawan (2009) menjelaskan bahwa perkembangan anak pada umumnya meliputi keadaan fisik, emosional sosial dan intelektual. Bila kesemuanya berjalan secara baik maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut dalam keadaan sehat jiwanya. Dalam perkembangan jiwa terdapat periode-periode kritis yang berarti bahwa bila periode-periode ini tidak dapat dilalui dengan baik, maka akan timbul gejala-gejala yang menunjukan misalnya keterlambatan, ketegangan, kesulitan penyesuaian diri dan kepribadian yang terganggu. Lebih jauh lagi bahkan tugas sebagai makhluk sosial untuk mengadakan hubungan antar manusia yang memuaskan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang di lingkungannya akan gagal sama sekali. Dari segi kesehatan Titi Somahita (2009) mengungkapkan bahwa sikap dan perilaku orangtua disamping berpengaruh terhadap kesehatannya sendiri, juga berpengaruh terhadap anak-anaknya yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab sendiri terhadap kesehatannya. Hal ini didukung dengan data Departemen Kesehatan RI pada tahun 2003 terdapat sekitar 27, 5% (5 juta balita kurang gizi), 3, 5 juta anak (19, 2%) dalam tingkat gizi kurang dan 1, 5 juta anak gizi buruk (8, 3%). Sedangkan jumlah kasus gizi buruk yang dilaporkan Dinas Kesehatan Propinsi selama Januari-Desember 2005 adalah 75.671 balita. (Midwifery, 2008, dalam Lia Pribawaningsih, 2009)

Adapun faktor-faktor penyebab gizi buruk dan gizi kurang bermacam-macam, diantaranya : 1) Kurang mendapat asupan gizi yang seimbang dalam waktu yang cukup lama, 2) Menderita penyakit infeksi sehingga asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan, 3) Tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, 4) Pola asuh yang kurang memadai, 5) Akses pelayanan kesehatan terbatas, 6) Minimnya pengetahuan ibu tentang gizi keluarga, 7) Sanitasi/kesehatan lingkungan yang kurang baik. (Billy, 2008, dalam Lia Pribawaningsih, 2009).

Dari beberapa faktor penyebab di atas pola pengasuhan mempunyai kontribusi sebesar 30% terhadap penentuan status gizi balita (Kitaunair, 2008, dalam Lia Pribawaningsih, 2009). Sedangkan diketahui bahwa kekurangan gizi pada anak akan menyebabkan beberapa efek serius seperti kegagalan pertumbuhan fisik, menurunkan perkembangan kecerdasan, kekurangan gairah belajar, menurunnya produktivitas dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit yang mengakibatkan kematian. Salah satu penyebab ketunagrahitaan pasca anak lahir adalah adalah gizi buruk dimana Kecerdasan anak sangat ditentukan bagaimana perkembangan dan pertumbuhan otak saat dalam kandungan dan setelah kelahiran. Gizi yang cukup dan memenuhi kebutuhan merupakan determinan utama dalam pertumbuhan dan perkembangan otak dari sejak dalam kandungan sampai fase tersebut selesai (www.ikmi.or.id/berita.htm,2003).
Dari sudut pandang perkembangan psikologis, orang dewasa terdekat anak dalam hal ini orang tua merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dan mempunyai pengaruh sangat besar karena pada dasarnya anak mempunyai sifat imitasi atau meniru terhadap apapun yang telah dilihatnya. Pembelajaran tentang sikap, perilaku dan bahasa yang baik sehingga akan terbentuknya kepribadian anak yang baik pula, perlu diterapkan sejak dini. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978) yang mengungkapkan bahwa orang yang paling penting bagi anak adalah orang tua, guru dan teman sebaya dari merekalah anak mengenal sesuatu yang baik dan tidak baik. Pendidikan dalam keluarga yang baik dan benar, akan sangat berpengaruh pada perkembangan pribadi dan sosial anak. Kebutuhan yang diberikan melalui pola asuh, akan memberikan kesempatan pada anak untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah sebagian dari orang-orang yang berada di sekitarnya.

Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa seorang individu sejak sangat awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak. Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil diajar makan, diajar kebersihan, disiplin, diajar main dan bergaul dengan anak lain dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1997 dalam Tarmidzi Ramadhan, 2009). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa.

Menurut Clemes (2001) bahwa terjadinya penyimpangan perilaku anak disebabkan kurangnya ketergantungan antara anak dengan orang tua. Hal ini terjadi karena antara anak dan orang tua tidak pernah sama dalam segala hal. Ketergantungan anak kepada orang tua ini dapat terlihat dari keinginan anak untuk memperoleh perlindungan, dukungan, dan asuhan dari orang tua dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang menjadi “masalah” kemungkinan terjadi akibat dari tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan kata lain perilaku anak merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan terhadap dirinya.

Penanganan terhadap perilaku anak yang menyimpang merupakan pekerjaan yang memerlukan pengetahuan khusus tentang ilmu jiwa dan pendidikan. Orang tua dapat saja menerapkan berbagai pola asuh yang dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga. Apabila pola-pola yang diterapkan orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak. Dalam ilmu pendidikan luar biasa, anak-anak yang mengalami penyimpangan dalam perilaku biasa di sebut dengan tuna laras yang menunjukkan ciri-ciri Perilakunya tidak dapat diterima oleh masyarakat dan biasanya melanggar norma budaya, aturan keluarga dan sekolah, serta Sering mengganggu, bersikap membangkang atau menentang dan tidak dapat bekerjasama.

Berdasarkan uraian diatas, jelaslah bahwa pola asuh orang tua terhadap anak sangat berperan penting dan berkorelasi dalam perkembangan fisik maupun psikologis anak. Pola asuh yang tepat dapat menghindarkan resiko hambatan kecerdasan dan perilaku yang menyimpang yang akan berdampak pada kemampuan anak belajar dan kebutuhan layanan pendidikan ketika menginjak usia sekolah.


DAFTAR PUSTAKA
Clemes, Harris. 2001. Mengajarkan Disiplin Kepada Anak. Jakarta. Mitra Utama.

Hurlock, Elizabeth. B. 1999. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Marjohan (2009). Pendidikan Dan Parenting Dalam Keluarga. Http://Www.Wikimu.Com/News/Displaynews.Aspx?Id=16485

Pribawaningsih , Lia, 2009). Gambaran Penerapan Pola Asuh Orang Tua Pada Balita Dengan Kekurangan Energi Protein (Kep). Http://Dahsyaat.Com/Gambaran-Penerapan-Pola-Asuh-Orang-Tua-Pada-Balita-Dengan-Kekurangan-Energi-Protein-Kep/

Ramadhan, Tarmidzi 2009). Pola Asuh Orang Tua Dalam Mengarahkan Perilaku Anak. Http://Tarmizi.Wordpress.Com/2009/01/26/Pola-Asuh-Orang-Tua-Dalam-Mengarahkan-Perilaku-Anak/

Setiawan, Denny (2009). Peran Orang Tua Dan Sekolah Dalam Mendidik Anak. Http://Www.Sd-Binatalenta.Com/Arsipartikel/Pendidikan_Keluarga_Anak.Pdf

Somahita, Titi (2009). Hubungan Antara Sikap Dengan Perilaku Orangtua Terhadap Kelainan Refraksi Pada Anak. Http://Eprints.Undip.Ac.Id/8082/1/Titi_Somahita.Pdf

I'm back

wahh... lama juga saya ga ngapa2in ini blog.
berawal dari adaptasi dengan tempat kerja baru, sampai kecanduan frontierville yang bikin lupa waktu..

mulai lagi ahh...

Wednesday, July 7, 2010

dad and his son : Lessons Learned (sebuah cerita inspirasional)


One day, the father of a very wealthy family took his son on a trip to the country with the express purpose of showing him how poor people live.

They spent a couple of days and nights on the farm of what would be considered a very poor family.

On their return from their trip, the father asked his son, “How was the trip?”

“It was great, Dad.”

“Did you see how poor people live?” the father asked.

“Oh yeah,” said the son.

“So, tell me, what did you learn from the trip?” asked the father.

The son answered: “I saw that we have one dog and they had four. We have a pool that reaches to the middle of our garden and they have a creek that has no end. We have imported lanterns in our garden and they have the stars at night. Our patio reaches to the front yard and they have the whole horizon.

“We have a small piece of land to live on and they have fields that go beyond our sight.

“We have servants who serve us, but they serve others. We buy our food, but they grow theirs.

“We have walls around our property to protect us, they have friends to protect them.”

The boy’s father was speechless.

Then his son added, “Thanks Dad for showing me how poor we are.”


silahkan dikomentari....
sumber : http://www.inspirationalstories.com/

Thursday, July 1, 2010

tanggal-tanggal penting

Hari Kepedulian Tuna Grahita= 20 Desember
Hari penyandang cacat sedunia = 3 Desember
Hari Autis sedunia = 8 April
Hari Down Syndrome sedunia = 21 Maret

Monday, June 7, 2010

PARENTING (KEPENGASUHAN ORANG TUA) SEBAGAI UPAYA DALAM PENCEGAHAN HAMBATAN ATAU GANGGUAN PADA ANAK


Orangtua (ayah dan ibu) merupakan figur yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Menurut Denny Setiawan (2009) “Para orang tua adalah yang pertama kali tahu bagaimana perubahan dan perkembangan karakter dan kepribadian anak-anaknya, hal-hal apa saja yang membuat anaknya malu dan hal-hal apa saja yang membuat anaknya takut. Para orang tualah yang nantinya akan menjadikan anak-anak mereka seorang yang memiliki kepribadian baik ataukah buruk.”.
Ayah dan Ibu (orang tua) memiliki peran dan fungsi masing-masing dalam pembentukan kepribadian seoran anak. Pola kepemimpinan dalam rumah tangga oleh ayah, dan pola pengasuhan oleh ibu sangat menentukan kebahagiaan anak-anak mereka. Marjohan (2009) mengemukakan ada tiga tipe kepemimpinan dan pengasuhan yang secara tak sengaja diterapkan oleh ayah dan ibu, yaitu tipe otoriter, laissez faire dan demokrasi. Orang tua yang otoriter cenderung berwatak keras, suka memaksakan pendapat. Tipe laissez faire adalah orang tua yang suka masa bodoh, serba tidak peduli atas apa yang terjadi, dan tipe demokrasi adalah pola kepemimpinan ayah dan pengasuhan kaum ibu yang menghargai hak hak dan pendapat anak dan anggota keluarga yang lain. Keluarga yang ideal adalah keluarga yang hangat dan yang demokrasi. Orang tua atau ayah-ibu yang penuh penghargaan dimana kegiatan dalam keluarga dilaksanakan secara kebersamaan menurut peran yang telah disepakati akan sangat menentukan pembentukan kualitas perkembangan anak. Lebih lanjut Denny Setiawan (2009) menjelaskan bahwa perkembangan anak pada umumnya meliputi keadaan fisik, emosional sosial dan intelektual. Bila kesemuanya berjalan secara baik maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut dalam keadaan sehat jiwanya. Dalam perkembangan jiwa terdapat periode-periode kritis yang berarti bahwa bila periode-periode ini tidak dapat dilalui dengan baik, maka akan timbul gejala-gejala yang menunjukan misalnya keterlambatan, ketegangan, kesulitan penyesuaian diri dan kepribadian yang terganggu. Lebih jauh lagi bahkan tugas sebagai makhluk sosial untuk mengadakan hubungan antar manusia yang memuaskan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang di lingkungannya akan gagal sama sekali. Dari segi kesehatan Titi Somahita (2009) mengungkapkan bahwa sikap dan perilaku orangtua disamping berpengaruh terhadap kesehatannya sendiri, juga berpengaruh terhadap anak-anaknya yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab sendiri terhadap kesehatannya. Hal ini didukung dengan data Departemen Kesehatan RI pada tahun 2003 terdapat sekitar 27, 5% (5 juta balita kurang gizi), 3, 5 juta anak (19, 2%) dalam tingkat gizi kurang dan 1, 5 juta anak gizi buruk (8, 3%). Sedangkan jumlah kasus gizi buruk yang dilaporkan Dinas Kesehatan Propinsi selama Januari-Desember 2005 adalah 75.671 balita. (Midwifery, 2008, dalam Lia Pribawaningsih, 2009)
Adapun faktor-faktor penyebab gizi buruk dan gizi kurang bermacam-macam, diantaranya : 1) Kurang mendapat asupan gizi yang seimbang dalam waktu yang cukup lama, 2) Menderita penyakit infeksi sehingga asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan, 3) Tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, 4) Pola asuh yang kurang memadai, 5) Akses pelayanan kesehatan terbatas, 6) Minimnya pengetahuan ibu tentang gizi keluarga, 7) Sanitasi/kesehatan lingkungan yang kurang baik. (Billy, 2008, dalam Lia Pribawaningsih, 2009).
Dari beberapa faktor penyebab di atas pola pengasuhan mempunyai kontribusi sebesar 30% terhadap penentuan status gizi balita (Kitaunair, 2008, dalam Lia Pribawaningsih, 2009). Sedangkan diketahui bahwa kekurangan gizi pada anak akan menyebabkan beberapa efek serius seperti kegagalan pertumbuhan fisik, menurunkan perkembangan kecerdasan, kekurangan gairah belajar, menurunnya produktivitas dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit yang mengakibatkan kematian. Salah satu penyebab ketunagrahitaan pasca anak lahir adalah adalah gizi buruk dimana Kecerdasan anak sangat ditentukan bagaimana perkembangan dan pertumbuhan otak saat dalam kandungan dan setelah kelahiran. Gizi yang cukup dan memenuhi kebutuhan merupakan determinan utama dalam pertumbuhan dan perkembangan otak dari sejak dalam kandungan sampai fase tersebut selesai (www.ikmi.or.id/berita.htm,2003).
Dari sudut pandang perkembangan psikologis, orang dewasa terdekat anak dalam hal ini orang tua merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dan mempunyai pengaruh sangat besar karena pada dasarnya anak mempunyai sifat imitasi atau meniru terhadap apapun yang telah dilihatnya. Pembelajaran tentang sikap, perilaku dan bahasa yang baik sehingga akan terbentuknya kepribadian anak yang baik pula, perlu diterapkan sejak dini. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978) yang mengungkapkan bahwa orang yang paling penting bagi anak adalah orang tua, guru dan teman sebaya dari merekalah anak mengenal sesuatu yang baik dan tidak baik. Pendidikan dalam keluarga yang baik dan benar, akan sangat berpengaruh pada perkembangan pribadi dan sosial anak. Kebutuhan yang diberikan melalui pola asuh, akan memberikan kesempatan pada anak untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah sebagian dari orang-orang yang berada di sekitarnya.
Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa seorang individu sejak sangat awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak. Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil diajar makan, diajar kebersihan, disiplin, diajar main dan bergaul dengan anak lain dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1997 dalam Tarmidzi Ramadhan, 2009). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa.
Menurut Clemes (2001) bahwa terjadinya penyimpangan perilaku anak disebabkan kurangnya ketergantungan antara anak dengan orang tua. Hal ini terjadi karena antara anak dan orang tua tidak pernah sama dalam segala hal. Ketergantungan anak kepada orang tua ini dapat terlihat dari keinginan anak untuk memperoleh perlindungan, dukungan, dan asuhan dari orang tua dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang menjadi “masalah” kemungkinan terjadi akibat dari tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan kata lain perilaku anak merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan terhadap dirinya.
Penanganan terhadap perilaku anak yang menyimpang merupakan pekerjaan yang memerlukan pengetahuan khusus tentang ilmu jiwa dan pendidikan. Orang tua dapat saja menerapkan berbagai pola asuh yang dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga. Apabila pola-pola yang diterapkan orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak. Dalam ilmu pendidikan luar biasa, anak-anak yang mengalami penyimpangan dalam perilaku biasa di sebut dengan tuna laras yang menunjukkan ciri-ciri Perilakunya tidak dapat diterima oleh masyarakat dan biasanya melanggar norma budaya, aturan keluarga dan sekolah, serta Sering mengganggu, bersikap membangkang atau menentang dan tidak dapat bekerjasama.
Berdasarkan uraian diatas, jelaslah bahwa pola asuh orang tua terhadap anak sangat berperan penting dan berkorelasi dalam perkembangan fisik maupun psikologis anak. Pola asuh yang tepat dapat menghindarkan resiko hambatan kecerdasan dan perilaku yang menyimpang yang akan berdampak pada kemampuan anak belajar dan kebutuhan layanan pendidikan ketika menginjak usia sekolah.



DAFTAR PUSTAKA

Clemes, Harris. 2001. Mengajarkan Disiplin Kepada Anak. Jakarta. Mitra Utama.

Hurlock, Elizabeth. B. 1999. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Marjohan (2009). Pendidikan Dan Parenting Dalam Keluarga. Http://Www.Wikimu.Com/News/Displaynews.Aspx?Id=16485

Pribawaningsih , Lia, 2009). Gambaran Penerapan Pola Asuh Orang Tua Pada Balita Dengan Kekurangan Energi Protein (Kep). Http://Dahsyaat.Com/Gambaran-Penerapan-Pola-Asuh-Orang-Tua-Pada-Balita-Dengan-Kekurangan-Energi-Protein-Kep/

Ramadhan, Tarmidzi 2009). Pola Asuh Orang Tua Dalam Mengarahkan Perilaku Anak. Http://Tarmizi.Wordpress.Com/2009/01/26/Pola-Asuh-Orang-Tua-Dalam-Mengarahkan-Perilaku-Anak/

Setiawan, Denny (2009). Peran Orang Tua Dan Sekolah Dalam Mendidik Anak. Http://Www.Sd-Binatalenta.Com/Arsipartikel/Pendidikan_Keluarga_Anak.Pdf

Somahita, Titi (2009). Hubungan Antara Sikap Dengan Perilaku Orangtua Terhadap Kelainan Refraksi Pada Anak. Http://Eprints.Undip.Ac.Id/8082/1/Titi_Somahita.Pdf

Sunday, May 30, 2010

DEDE SUPRIYANTO VOICE: FOBIA

DEDE SUPRIYANTO VOICE: FOBIA

FOBIA




Fobia adalah perasaan takut yang irasional terhadap suatu objek, yang sebenarnya tidak berbahaya atau tidak menyeramkan. Jadi, tidak ada sumber bahaya yang mengancam secara nyata. Wajar bila anak-anak takut pada anjing galak atausebuah topeng yang menakutkan, misalnya. Lain halnya bila mereka takut pada karet gelang atau kupu-kupu. Fobia merupakan suatu gangguan psikologis yang perlu diatasi, terutama bila intensitasnya sangat kuat sehingga mengganggu kelancaran hidup sehari-hari.
Fobia terdiri dari aspek emosi dan tingkah laku. Jadi penderita fobia biasanya merasakan takut yang amat sangat terhadap suatu objek kemudian menjerit, lalu berlari, mengunci diri di kamar, atau menampilkan tingkah laku ketakutan lainnya. Si penderita tidak mampu menahan atau mengendalikan dirinya agar tidak melakukan tingkah laku tersebut. Penserita pun sadar kalau rasa takutnya tidak beralasan, namun ia tidak berdaya mengatasinya. Aspek ini dikenal sebagai tingkah laku kompulsif.
Bila fobia ini terjadi pada anak-anak, biasanya mereka merupakan anak-anak yang kaku dalam pergaulan, takut melakukan kesalahan, dan cenderung menyalahkan diri sendiri bila mengalami masalah atau kegagalan.
Karenanya, usaha penyembuhan harus dimulai dengan mengembalikan rasa percaya diri anak. Bila hal ini banyak berkaitan dengan pola asuh orang tua, mengingat merekalah orang-orang yang paling dekat dan berpengaruh pada pada masa kanak-kanak. Ini berarti, pendekatan juga perlu dilakukan terhadap hubungan orang tua dan anaknya. Untuk kasus fobia yang sangat mengganggu, penyembuhan biasanya disertai dengan terapi psikologis oleh seorang ahli.
Ada lima jenis fobia yang sering ditemui pada anak-anak. Fobia terhadap ruang terbuka (Agoraphobia), fobia terhadap ruang tertutup (Claustrophobia), fobia terhadap tempat tinggi (Acrophobia), fobia terhadap tempat kotor dan infeksi akibat kuman (Mysopgobia), dan phobia terhadap suatu benda , misalnya karet gelang, binatang atau serangga (Phobophobia). Fobia yang terakhir ini digolongkan sebagai Simplephobia, yaitu phobia yang relatif lebih sederhana dan tidak terlalu mengganggu penderita dibandingkan fobia lainnya.

Thursday, April 15, 2010

Honest

To be honest is painfull???

Satu hal yang dari dulu paling sulit aku pahami adalah mengapa melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, dan berkata sesuatu dengan yang sebenar-benarnya (jujur-red) itu kadang menyulitkan???
Aku akui banyak kejadian yang aku kurang2i dan lebih2kan untuk tujuan tertentu (entah lebih banyak untuk tujuan yang baik atau tidak baik). tapi yang aku yakini bahwa apabila aku berbuat tidak jujur maka ini akan menjadi peluru yang sewaktu-waktu siap untuk ditembakkan ke arahku (kalaupun masih meleset aku anggap itu hanya keberuntungan, dan Tuhan masih memberiku cobaan untuk memperbaiki diri).

Aku sadar untuk yg satu ini bersumber dari banyaknya sisi-sisi kehidupanku yang tidak ingin diketahui oleh banyak orang, sehingga berdampak pada terbiasanya aku untuk tidak melakukan, bertindak, dan berkata yang sebenarnya..

"Jujur" Aku lebih senang menjadi orang lain ketika berinteraksi daripada menjadi diriku sendiri, aku lebih senang membentuk image daripada harus menampilkan diriku yang aku anggap kurang memuaskan orang. aku lebih senang menggunakan banyak topeng untuk orang-orang yang berbeda-beda. dan yang paling menakutkan adalah aku lebih menyukai bila orang lebih mengenal sisi diriku yang lain dibandingkan yang sebenarnya. aku tidak mau dikenal sebagaimana diriku secara utuh.

Semuanya itu menjadi paralel kedalam semua sikap, tindakan dan ucapan-ucapanku (walau sering bertentangan dengan hati nurani).

Kadang aku berpikir kenapa otakku tidak selalu nyambung dengan hati nurani??? dan kenapa segala yang aku aktualisasikan sering bersumber dari otak???
apakah karena otak mempunyai kemampuan diatas segala kemampuan yang dapat mengendalikan diri??? apakah karena otak letaknya berada di posisi paling tinggi pada tubuhku dibandingkan hati nurani yang berposisi di dada (aku memahaminya hati nurani berada di organ jantung atau hati). Tapi aku tak mau ini menjadi pembenaran bahwa karena aku dikuasai oleh otak, maka aku harus selalu menjadi orang yang tidak jujur...

well, honestly is painful for those who ignore it.
for first steps, i'm already honest to my self
i'm forced hardly for that...

Monday, March 22, 2010

METODE CEPAT MEMBACA PERMULAAN (BAGIAN 3)


Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik)

Metode SAS yang sudah ada sejak tahun 1974 ini didasarkan pada landasan psikologis anak bahwa pengamatan pertama bersifat global (totalitas) dan anak seusia sekolah mempunyai sifat melit (ingin tahu). Artinya pengamatan anak mulai dari keseluruhan, baru kemudian ke bagian-bagian lainnya.
Anak dilatih memproses suatu kalimat utuh, yaitu anak diajak menguraikan kata dari sebuah kalimat, lalu suku kata dari sebuah kata, hingga huruf dalam suku kata. suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat kembali. mulanya anak diminta membaca satu kalimat sederhana (subjek + predikat). Semakin lama, bentuk kalimat semakin panjang dan kompleks.
Langkah-langkah SAS:

1. Anak diajak untuk membaca permulaan. Ada dua bagian, pertama membaca permulaan tanpa bukudan kedua membaca permulaan buku.
2. Merekam bahasa anak melalui pertanyaan-pertanyaan dari pengajar sebagai kontak permulaan.
3. Menampilkan gambar sambil bercerita. Setiap kali gambar diperlihatkan, munculkan kalimat-kalimat anak yang sesuai dengan gambar.
4. Membaca kalimat secara struktural.
5. Membaca permulaan dengan buku.
6. Membaca lanjutan.
7. Membaca dalam hati.

Kelebihan :
Metode ini sebagai landasan berpikir analisis. Dengan langkah yang diatur sedekimian rupa membuat anak mudah mengikuti prosedur dan dapat cepat membaca pada kesempatan berikutnya.
Berdasarkan landasan linguistik, metode ini akan menolong anak. menguasai bacaan dengan lancar. Jika si pengajar pandai mengaitkan kalimat dengan konteks anak, pelajaran menjadi menyenangkan karena tulisan yang dibaca anak mmepunyai arti dan mengandung pesan.

Perhatikan :
1. Metode SAS mempunyai kesan bahwa pengajar harus kreatif dan terampil serta sabar.
2. Banyak sarana yang harus dipersiapkan untuk pelaksanaan metode ini untuk sekolah tertentu di rasa sukar.

(sumber: parents guide magazine, edisi Juni 2009)

____ Dede Supriyanto ____

Sunday, March 7, 2010

METODE CEPAT BELAJAR MEMBACA PERMULAAN (BAGIAN 2)



METODE FONIK

CBIFonik (Cerdas Berbahasa Indonesia Fonik) adalah sebuah model pembelajaran bahasa Indonesia yang ditujukan mulai dari anak usia dini. dikembangkan dengan mengoptimalkan seluruh ketrampilan berbahasa, menyimak, berbicara, menulis dan membaca.

Kelebihan :
1. dapat diajarkan dengan struktur abhasa yang disesuaikan dengan kaidah linguistik dan perkembangan bahasa anak.
2. Dapat dilakukan di sekolah dan di rumah.
3. Dilaksanakan sesuai dengan kerja otak anak; tidak memaksa, bermakna dan kontekstual.
4. Anak paham bahasa Indonesia bukan hanya sekadar bisa membaca.
5. Mengajarkan cara menulis yang proporsiaonal dengan cara yang menyenangkan.

Langkah-langkah CBIFonik:
a. Anak dikenalkan untuk membunyikan huruf. Ada 5 sekelompok huruf berdasarkan fonik atau pengartikulasiannya antara lain; kelompok1 (a, i, u, e, o) kelompok 2 (m, s, b, p, l), kelompok 3 (d, n, t, w, s, r), kelompok4 (c, j, y, z, v) dan kelompok 5 (h), kelompok 6 (ng, ny, ai, au, ao).
b. Mencari bunyi huruf tertentu pada kata. Misalnya mencari kata "a" pada apel. Anak dimintamencari huruf "a" di depan, di tengah, dan di belakang.
3. Mencari bunyi pada benda. Anak diminta memegang benda yang ada huruf "a" nya.
4. Mencari bunyi pada kartu "gambar mana yang ada huruf "a" nya?"
5. Meraba huruf. ini adalah proses persiapan menulis Anak diajarkan meraba sesuai arah petunjuk.
6. Mencari huruf pada teks. Anak diminta mencari huruf pada teks yang ada di majalah, koran atau buku.
7. Mencari padanan huruf, khususnya huruf kecil dan huruf besar.
8. Membandingkan huruf yang ditulis dengan huruf model (terbuat dari kayu, lilin, plastisin atau lainnya).
9. Setelah anak mengenal satu bunyi konsonan maka dihubungkan dengan bunyi vokal yang sudah dikuasai anak, misalnya "m" dan "a" menjadi "ma'.
10. Setelah di hubungkan, anak diajak membentuk kata, misalnya "mama".

Perhatian:
Orangtua diminta memberikan pengayaan kosakata. dan akan lebih berhasil jika orang tua sering membacakan buku pada anak, berbicara dengan nada yang jelas dan tidak terlalu cepat serta dengan artikulasi yang jelas.

waktu yang diperlukan:
12 kali pertemuan x 40 menit = 480 menit= 8 jam.

(sumber: parents guide magazine, edisi Juni 2009)

____ Dede Supriyanto ____

Friday, March 5, 2010

METODE CEPAT BELAJAR MEMBACA PERMULAAN




Membaca merupakan salah satu di antara empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) yang penting untuk dipelajari dan dikuasai oleh setiap individu. Dengan membaca, seseorang dapat bersantai, berinteraksi Dengan mengajarkan kepada anak cara membaca berarti memberi anak tersebut sebuah masa depan yaitu memberi suatu teknik bagaimana cara mengekplorasi “dunia” mana pun yang dia pilih dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan hidupnya.. (http://padepokan-it.com/2010/01/27/arti-membaca/)
Ada banyak metode capat baca yang dapat diterapkan untuk membaca permulaan. Semuanya menawarkan kemudahan. Berikut adalah metode-metodenya :

1. METODE KUBACA
Metode ini menawarkan cara cepat membaca kalimat melalui pemahaman arti sebuah wacana sederhana. Metode ini juga memudahkan anak berbicara dan menyusun kalimat dengan logika berbahasa yang baik dan benar. Diharapkan anak-anak akan mempunyai semangat dan kecintaan terhadap bacaan, karena menikmati pengalaman yang menyenangkan ketika belajar membaca. Metode ini mendorong anak untuk belajar membaca kata-kata yang sudah pernah didengarkan, dilakukan dan diucapkan. Hal ini akan memudahkan anak dalam belajar membaca. Pasalnya, pengalaman tersebut telahdisimpan di memori anak sehingga ketika ditampilkan lagi, ingatan akan meresponnya dengan lebih cepat. Selain itu, metode ini akan memperlancar dan menambah kosa kata anak, sehingga akan memudahkan anak memahami sebuah bacaan. Kelebihan metode KUBACA sudah bisa dirasakan oleh orang tua dalam waktu 24 jam, karena setiap kali pertemuan hanya memerlukan waktu tatap muka selama 1 jam.
Kelebihan metode kubaca :
a. Koordinasi antara mata dan mulutakan lebih baik.
b. Melatih daya ingat.
c. Mengajarkan bicara lebih lancar.
d. Menambah perbendaharaan kosakata.
e. Menumbuhkan rasa percaya diri.
f. Mamapu menyusun kata menjadi kalimat yang benar dan bermakna (logika bahasanya akan berkembang).
g. Mampu membuat cerita dan rangkaian kata yangs ering didengar atau dibaca.
h. Memberi permulaan lebih awal untuk dapat mengerti dan menyerap ilmu pengetahuan melalui membaca.


Langkah-langkah metode KUBACA
a. Siapkan 2 pasang terdiri dari 5 kartu kata dengan ukuran 5 x 20 cm. Tulisan berwarna merah, bertulisakan kata yang paling sering didengar dan diucapkan oleh anak-anak. Contoh; ini, mama, papa, saya, bola.
b. Tunjukkan bunyi 5 kata tersebut satu per satu dengan intonasi vokal yang jelas dan tepat. Anak mendengarkan terlebih dahulubaru menirukan.
c. Berikan anak 5 kartu kata yang sama dengan kita.
d. Sebutkan kata ini, dan anak menunjukkan atau mengangkat kartu kata ini. Lakukan dengan kata yang lainnya dan dengan cara yang sama.
e. Susun 2 kata menjadi kalimat sederhana dan bermakna, contoh “ini mama”, “ini papa” , “in saya”. Anak membaca dan menirukan membuat dan menyusun kalimat yang sama.
f. Susun 3 atau lebih kata menjadi kalimat sederhana dan bermakna. Contoh “ini mama saya”, “ ini papa saya”, “ini papa mama” .
g. Tulisa kata dan kalimat tersebut dalam kertas, sehingga anaka dapat membaca kata dalam bentuk lain.
h. Berikan gambar mama, papa setelah anak dapat membaca kata dengan baik. Misalkan gambar perempuan dan dibawah gambar tersebut ditulis kalimat “ini mama”.
i. Tambahkan kata berikutnya sesuai dengan kaidah penyususnan kalimat yang baik dan benar (subjek, predikat, onjek/ keterangan).

Perhatikan :
Anak di awal tergantung dengan kartu kata. Sehingga ketika dipindah ke membaca di kertas anak agak (malas) membaca.
Metode ini sebenarnya mudah diterapkan, asal syaratnya bisa dipatuhi :
a. Orang tua / guru sabar dan telaten.
b. Ikuti petunjuk di dalam sibabus/pedoman pembelajaran dengan metode KUBACA.
c. Tidak terburu-buru menambah kata baru meskipun anak tiba-tiba cepat bisa.
d. Lakukan dengan cara bermain, bernyanyi dan tidak perlu membebani anak dengan target anak yang tinggi.

Waktu yang dibutuhkan : 24 pertemuan x 1 jam = 24 jam.
Untuk metode membaca lainnya akan dibahas pada entri berikutnya. Selamat mencoba.

(sumber : majalah parents guide, edisi Juni 2009)

Tuesday, February 23, 2010

Sindrom Tourette

Sindrom ini pertama kali ditemukan oleh seorang dokter dari Perancis bernama Geogers Gilles de la Tourette ini merupakan gangguan yang menunjukkan adanya masalah pada sarag seseorang. seringkali keadaan ini disebut Distonia, yaitu gerakan dengan kontraksi otot yang terus menerus, menyebabkan gerakan berputar dan berulang atau menyebabkan sikap tubuh yang abnormal.
Sindrom Tourette menurut Irawan Mangkuatmadja (Dep. Ilmu Kesehatan Anak FK UI) adalah kelainan neuropsikiatri kronis yang khas ditandai dengan adanya gerakan otot dan suara yang tidak dapat diatur (tick). secara sederhana dapat dikatakan adanya gerakan otot-otot tertentu disertai dengan keluarnya suara dari mulut secara berurutan. kata-kata yang keluar dapat berupa kata-kata tak berarti sampai berupa kata-kata kasar dan kotor.
gejala-gejala sindrom tourette atau distonia diantaranya seperti sering berkedutnya urat wajah. kedutan atau kejang pada mulut dan sering berkedipnya mata adalah gejala umum pertama yang paling sering muncul. gejala yang biasa terjadi lainnya termasuk juga gerakan tangan atau anggota tubuh tanpa sengaja atau mengeluarkan suara seperti berdeham dan mengeluarkan suara dari hidung seperti membaui.
Tidak ada pola gejala yang tunggal, bahkan beberapa diantaranya merasakan gejala yang samar. kejang dapat diklasifikasikan sebagai kejang yang sederhana, seperti menggerakkan bahu secara spontan, kedipan mata, decak lidah, atau bunyi-bunyi dari hidung. tidak sedikit pula yang kompleks seperti melompat, suka berputar-putar, hingga mengeluarkan kata-kata yang tidak diteria umum.
Tourette seringkali menguras energi. Gerakan motoris yang tidak terkontrol membuat penderitanya sering mengalami keletihan yang amat sangat. Belum lagi penderita yang tidak dapat mengendalikan spontanitas berbicaranya termasuk juga penggunaan kata-kata kotor yang tak terkendali (coprolalia) dan pengulangan frase yang ia dengar diucapkan orang lain (echolalia), atau pada masyarakat awam dikenal dengan istilah latah.
Mereka yang terkena sindrom tourette seringkali juga memiliki berbagai masalah psikologi, seperti attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), obsessive-compulsive disorder (OCD), dan kebiasaan menyakiti diri sendiri, walaupun hubungan antara gangguan-gangguan ini dengan sindrom tourette masih belum jelas.
Menurut Luh Surini Y.S (psikolog anak fak. psikologi UI) sindrom tourette adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan gerakan seperti mengangkat tangan, menggoyangkan kepala, atau berdeham seperti ringkihan kuda yang tiba-tiba dan tidak bisa dikontrol secara berulang dan tidak bertujuan.
Catatan penderita sindrom tourette di Indonesia masih sedikit. namun bukan berarti penderitanya tidak banyak.
Gejala-gejala sindrom tourette antara lain ditandai dengan munculnya gerakan tick sederhana yang berkembang menjadi gerakan yang lebih kompleks, yang umumnya sudah berlangsung selama satu tahun. gangguan ini diawali dengan gejala yang ringan kemudian makin lama makin berat.
gerakan-gerakan sederhana di mulut makin memberat menjadi gerakan bahu. suara yang awalnya hanya suara kerongkongan yang menjadi berat karena dengan diikuti kata-kata tertentu hingga sulit diartikan. memarahi anak karena "kebiasaanya" menggerak-gerakkan anggota badan dan mengeluarkan suara itu justru dapat memperparah gangguan.
sindrom tourette merupakan penyakit keturunan dengan prevalensi pria wanita 3:1. penyebab yang pasti masih belum diketahui, tetapi diduga merupakan suatu kelainan dalam dopamine atau neurotransmitter otak lainnya.
Gangguan ini diduga bersifat familial psikogenik. biasanya dimulai pada usia seseorang dibawah usia 21 tahun. karena merupakan gangguan bersifat keturunan itulah, maka sulit dilakukan pencegahan terhadap gangguan ini.
Selain adanya kelainan neurobehavior di otak, gangguan ini tidak mengenai organ lain. tetapi kurangnya konsentrasi akibat gangguan gerakan-gerakan spontan ini bisa mempengaruhi kemampuan akademis anak.
seseorang bisa saja terkena sindrom tourette karena faktor keturunan atau tiba-tiba muncul. untuk yang terakhir ini biasanya disebut sporadic tourette;s syndrome. jika sindrom tourette yang muncul karena faktor turunan, maka gejala-gejalanya bisa sama dengan yang pernah dialami orang tuanya, atau dengan gejala kombinasi yang berbeda, atau bahkan tidak ada gejala sama sekali.
Walaupun tidak berbahaya, sindrom ini perlu ditangani dengan baik karena kerap mempengaruhi kondisi psikologis penderitanya. kurangnya pengertian dari orang lain terhadap kondisi anak-anak yang memiliki sindrom tourette seringkali membuat penderitanya merasa minder. akibatnya, mereka akan merasa sulit membangun sebuah hubungan dengan teman atau orang lain.
Sekitar 10 % dari mereka yang memiliki gen keturunan sindrom ini memiliki gejala yang cukup mengganggu dan membutuhkan perawatan medis. sangat penting untuk melakukan diagnosis dan penanganan sedini mungkin. diagnosis dilakukan dengan melihat pola gejala. walaupun belum ada penyembuhan, tetapi sindrom tourette dapat diatasi. bagi banyak orang, psikoterapi atau terapi kebiasaaan akan sangat membantu, begitu juga dengan terapi relaksasi.



--- semoga bermanfaat ---