Thursday, October 31, 2013

Penyusunan Instrumen Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus



Instrumen asesmen adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk mengungkap kondisi subjek yang akan diases atau dinilai. Menyusun instrumen asesmen dapat dilakukan guru jika guru telah memahami benar aspek-aspek yang akan di nilai pada siswanya  . Pemahaman terhadap analisis aspek/kemampuan merupakan  modal penting bagi guru agar dapat menjabarkan menjadi sub aspek, indikator, deskriptor dan butir-butir instrumennya.
Ada beberapa langkah umum yang bisa ditempuh dalam menyusun instrumen asesmen. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.      Analisis aspek kemampuan umum, yakni mengkaji kemampuan-kemampuan umum menjadi sub aspek sejelas-jelasnya, sehingga indikator tersebut bisa diukur dan menghasilkan data yang diinginkan guru. Dalam membuat indikator kemampuan, guru dapat menggunakan teori atau konsep-konsep yang ada dalam pengetahuan ilmiah yang berkenaan dengan indikator tersebut, atau menggunakan fakta empiris berdasarkan pengamatan lapangan.
2.      Menetapkan jenis instrumen yang digunakan untuk mengukur aspek, sub aspek, dan indikator-indikatornya. Satu aspek mungkin bisa diukur oleh beberapa jenis instrumen, bisa pula lebih dari satu instrumen.
3.      Setelah ditetapkan jenis instrumennya, peneliti menyusun kisi-kisi atau layout instrumen. Kisi-kisi ini berisi lingkup materi pertanyaan, abilitas yang diukur, jenis pertanyaan, banyak pertanyaan, waktu yang dibutuhkan. Materi atau lingkup materi pertanyaan didasarkan pada indikator kemampuan. Artinya, setiap indikator akan menghasilkann beberapa luas lingkup isi pertanyaan, serta abilitas yang diukurnya. Abilitas dimaksudkan adalah kemampuan yang diharapkan dari subjek yang di asesmen. Misalnya kalau diukur prestasi belajar, maka abilitas prestasi tersebut dilihat dari kemampuan subjek dalam hal pengenalan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi. Atau bila diukur sikap siswa, maka lingkup abilitas sikap kita bedakan aspek kognisi, afeksi, dan konasinya.
4.      Berdasarkan kisi-kisi tersebut lalu guru menyusun item dan pertanyaan sesuai dengan jenis instrumen dan jumlah yang telah ditetapkan dalam kisi-kisi. Jumlah pertanyaan bisa dibuat lebih dari yang ditetapkan sebagai item cadangan. Setiap item yang dibuat guru harus sudah punya gambaran jawaban (rubrik) yang diharapkan. Artinya, prakiraan jawaban yang betul/diinginkan harus dibuat peneliti.
5.      Instrumen yang sudah dibuat sebaiknya diuji coba digunakan untuk revisi instrumen, misalnya membuang instumen yang tidak perlu, menggantinya dengan item yang baru, atau perbaikan isi dan redaksi/bahasannya.

Penyusunan Instrumen Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus

Wednesday, October 23, 2013

Bagaimana Dampak dan Manfaat Pendidikan Inklusi bagi Siswa Non-Disabled?*



Diterjemahkan dan disarikan oleh :
Dede Supriyanto
(dede_tkplb@yahoo.com)



Pendidikan Inklusi menjadi salah satu perhatian dan populer di berbagai kalangan baik di lingkungan pendidikan di daerah maupun pusat di Amerika Serikat. Sebagian besar perhatian itu dikhususkan pada  dampak pendidikan inklusi pada siswa disabled (disabled). Di sini kita ingin mempertimbangkan dampak dari pendidikan inklusi pada siswa yang tidak memiliki kebutuhan khusus (non-disabled). Dalam diskusi tentang dampak pendidikan inklusi bagi siswa non-disabled, secara umum muncul tiga hal kekhawatiran yang dimungkinkan akan terjadi.

1.    Apakah pendidikan inklusi mengurangi kemajuan akademis siswa-siswa non-disabled?
Beberapa penelitian telah menggunakan desain kuasi-eksperimental untuk membandingkan kemajuan anak non-disabled di kelas inklusif dengan anak-anak non-disabled di kelas yang tidak terdapat siswa disabled. Penelitian-penelitian tersebut konsisten membuktikan tidak adanya perlambatan kemajuan secara akademis pada anak-anak non-disabled di kelas inklusif. Misalnya studi yang dilakukan oleh Odom dan rekan (1984) yang membandingkan perkembangan kemampuan kognitif, bahasa dan sosial kelompok siswa non-disabled di kelas inklusif dan bukan inklusif membuktikan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada perkembangan kedua kelompok tersebut. Penelitian lain mengungkap pula tidak adanya hambatan kemajuan perkembangan pada siswa non-disabled yang berada di lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini (Bricker Dkk. 1982).
Selain itu sebuah survei yang dilakukan kepada orang tua dan guru di sekolah inklusi ditemukan bahwa kedua belah pihak memiliki pandangan yang positif tentang program inklusif dan tidak terbukti adanya hambatan kemajuan perkembangan pada anak non-disabled (Bailey dan Winton 1989, Giangreco et al. Tahun 1993, Green dan Stoneman 1989, Peck dkk. 1992).

2.    Apakah anak-anak non-disabled kehilangan waktu dan perhatian dari guru?
Meskipun banyak pihak telah menyuarakan kekhawatiran mereka bahwa guru kelas mungkin akan dipaksa untuk mencurahkan terlalu banyak waktu untuk memperhatikan anak-anak disabled (Peck et al. 1989, Shanker 1994), namun ada penelitian yang langsung menyelidiki masalah ini secara mendalam yang dilakukan oleh Hollowood dan rekan (1994) yang meneliti dengan membandingkan alokasi waktu pembelajaran dan partisipasi siswa non-disabled di kelas yang terdapat siswa disabled dengan kelompok siswa di kelas yang tidak terdapat siswa disabled. Temuan mereka menunjukkan bahwa kehadiran siswa disabled tidak berpengaruh pada tingkat alokasi waktu dan partisipasi mereka. Temuan ini didukung oleh hasil survei kepada guru dan orang tua yang memiliki pengalaman langsung dengan kelas inklusif yang dilakukan oleh Helmstetter dan rekan (1993) dengan mensurvei sampel 166 siswa SMA yang terlibat di kelas inklusif baik di daerah pedesaan, pinggiran kota, dan kota besar dengan hasil siswa-siswa tersebut tidak percaya bahwa keberadaan mereka dalam kelas inklusif telah menyebabkan mereka kehilangan pengalaman pendidikan berharga lainnya.

3.    Apakah siswa non-disabled belajar perilaku yang tidak diinginkan dari siswa disabled?
Pengamatan yang dilakukan terhadap anak-anak di kelas inklusif menyimpulkan bahwa ini jarang terjadi. Dalam satu survei kepadaorang tua dan guru menunjukkan bahwa anak-anak non-disabled tidak meniru perilaku yang tidak diinginkan yang muncul dari anak-anak disabled (Peck et al. 1992). Sedangkan Staub et al. (Dalam pers, 1994) melakukan wawancara dan pengamatan kepada orang tua dan guru selama dua tahun berturut-turut, hasilnya menunjukkan bahwa siswa non-disabled tidak memperoleh perilaku yang tidak diinginkan atau maladaptif dari rekan-rekannya  yang disabled.

Potensi Kemanfaatan Pendidikan Inklusi
Meskipun para guru dan orang tua mengungkapkan kekhawatiran mereka sebelum inklusi diimplementasikan, namun bagi mereka yang telah terlibat dalam pendidikan inklusi pada akhirnya merasakan manfaat hubungan anak-anak mereka yang non-disabled dengan individu disabled (Biklen et al. Tahun 1987, Murray-Seegert 1989, Peck dkk. 1989). Dari hasil tinjauan kami, dapat disimpulkan lima hal positif dari pendidikan inklusi tersebut,
1.      Mengurangi kekhawatiran dalam menyikapi  perbedaan karakteristik setiap individu disertai dengan peningkatan kenyamanan dan kesadaran menerima keberagaman.
2.      Meningkatkan toleransi dan jiwa sosial terhadap lingkungan sekitar.
3.      Membantu dalam proses pembentukan konsep diri.
4.      Pengembangan prinsip-prinsip pribadi yang positif.   
5.      Membantu siswa belajar lebih hangat, ramah dan penuh perhatian dalam persahabatan.

Meskipun penelitian-penelitian ini sangat terbatas, namun dapat kita interpretasikan  adanya konsistensi yang muncul pada masing-masing penelitian yang menunjukkan bahwa inklusi tidak membahayakan tetapi justru memberikan manfaat positif bagi anak-anak non-disabled.  Kami juga setuju dengan sebagian besar guru dan administrator yang kami wawancarai bahwa untuk menyadari manfaat dari inklusi bagi semua siswa, mereka membutuhkan mediasi aktif dari guru serta sumber-sumber lain untuk mendukung penempatan siswa disabled di kelas reguler (Peck et al. 1993).
Asumsi pokok berdasarkan berbagai hasil penelitian diatas menyimpulkan bahwa tujuan inklusi sangat relevan dengan kebutuhan semua anak. Perkembangan semua anak dapat meningkat seiring berkembangnya tingkat sense of belonging (rasa memiliki) dan kepedulian siswa terhadap seluruh individu di sekolah (Noddings 1984). Walaupun saat ini masih banyak kontroversi yang muncul tentang pendidikan inklusi, hal ini mencerminkan masih perlu adanya usaha yang lebih mengikat pada bagaimana mengembangkan nilai-nilai kehidupan dan etika bermasyarakat dalam bentuk kebijakan publik di bidang pendidikan.


* Judul asli “What Are the Outcomes for Nondisabled Students?”, Penulis Debbie Staub dan Charles A. Peck. Dimuat di “The Inclusive School Journal” Volume 52. Desember 1994/Januari 1995. Halaman 36-40