Saturday, May 12, 2012

Optimalisasi Support System dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi


Paradigma baru yang terjadi dalam pendidikan melalui hadirnya konsep baru pendidikan khusus yaitu berupa sekolah inklusi, menghasilkan berbagai issue yang terdengar dalam masyarakat. Ini merupakan kontroversi awal bagi hadirnya new product di dunia pendidikan yang disebut “Education For All (EFA)”. Sebenarnya ini bukanlah suatu produk baru lagi, namun para ilmuan pendidikan baru menyadari bahwa pendidikan yang selama ini ada sebenarnya adalah hak semua manusia yang pantas untuk mereka tuntut, entah itu untuk manusia normal maupun manusia yang berkebutuhan khusus. EFA merupakan suatu kesadaran publik yang membawa banyak pembenahan pada pendidikan yang selama ini telah ada.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih mengundang kontroversi (menurut Sunardi, dalam Yanti D.W, 2010). Namun praktek sekolah inklusif memiliki berbagai manfaat. Misalnya adanya sikap positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif, memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual. Selain itu, anak berkelainan belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi, anak terhindar dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupan nyata, label “cacat” yang memberi stigma pada anak dari sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan.

Konsekuensi dari penyelenggaraan program ini adanya kebutuhan biaya yang lebih besar, sehingga idealnya pemerintah mengambil peran agar benar-benar pendidikan ini dapat terlaksana dengan baik. Untuk menopang suksesnya penyelenggaraan Pendidikan Inklusi perlu kerjasama dengan semua pihak mengingat kemampuan Pemerintah untuk membantu masih sangat terbatas sementara anak dengan hambatan tertentu yang belum tertampung mengikuti pendidikan formal semakin banyak sehingga dapat menjadikan kendala suksesnya Wajib Belajar 9 Tahun.
Pendidikan Inklusi dalam penyelenggaraannya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan terpadu atau pendidikan khusus (segregasi) sehingga sangat tepat apabila pemerintah menyelenggarakan dan mengembangkan program ini. Dengan diselenggarakannya pendidikan Inklusi bukan berarti SLB (Sekolah Luar Biasa), sekolah terpadu dan SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) ditutup, akan tetapi dijadikan mitra kerja yang baik dengan penyelenggaraan Sekolah yang inklusi, bahkan kalau perlu dijadikan laboratorium sekolah dan nara sumber bagi guru-guru khusus yang mengajar di sekolah inklusi.

Permasalahan lain yang muncul adalah minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar-benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan, sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental. Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus di emban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, namun justru dapat menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.

Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia berimplikasi atau mengandung konsekuensi logis terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum (reguler), antara lain sekolah harus lebih terbuka, ramah terhadap anak, dan tidak diskriminatif.

Dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif perlu adanya system dukungan yang dipelukan dalam upaya mempercepat pemenuhan akses dan mutu pendidikan untuk semua (Education For All). Sistem dukungan tersebut dapat berupa dukungan dalam bentuk regulasi atau kebijakan-kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang jelas mengenai pendidikan inklusif misalnya dalam bentuk “peraturan pemerintah”, “peraturan menteri”, “peraturan daerah Provinsi/Kabupaten/Kota” mengenai pendidikan inklusif dukungan sarana dan prasarana, dukungan pembiayaan, dukungan tenaga (pendidik dan tenaga kependidikan) dan dukungan-dukungan dari lembaga pendukung. Lembaga pendukung tersebut antara lain melalui Kelompok Kerja (Pokja) Inklusif baik Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota), Pusat Sumber (Resource center) bagi sekolah umum yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, wadah professional guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah seperti Gugus SD/SLB (KKG, KKKS, dan KKPS), MGMP, MKKS, dan MKPS). Dan dukungan lembaga lain yaitu LPTK, P4TK TK dan PLB, dan Balai/Badan Diklat, serta dukungan masyarakat.

Sunardi (2009) telah melakukan penelitian terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di Kabupaten dan Kota Bandung, secara umum saat ini terdapat lima kelompok issue dan permasalahan pendidikan inklusi di tingkat sekolah yang perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak menghambat, implementasinya tidak bias, atau bahkan menggagalkan pendidikan inklusi itu sendiri, permasalahan tersebut antara lain yaitu :

1. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi – LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas.

2. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya.

3. Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre bagi sekolah-sekolah inklusi di lingkungannya, belum dapat dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerja sama maupun alasan geografik.

4. Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi, advokasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal.

5. LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum dapat diwujudkan dengan baik.

6. Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan maupun bantuan teknis, dinilai masih kurang perhatian dan kurang proaktif terhadap permasalahan nyata di lapangan.

7. Kalaupun pemerintah saat ini sudah mengikutkan guru-guru dalam pelatihan atau memberikan bantuan yang sifatnya fisik atau keuangan, namun jumlahnya masih sangat terbatas dan belum merata.

8. Sekolah umumnya juga belum didukung fasilitas yang diperlukan untuk mendukung aksesibilitas dan keberhasilan pembelajaran secara memadai.

Berdasarkan hal diatas, maka beberapa hal yang dapat dilakukan guna mengatasi hambatan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi berkaitan dengan peran support system adalah sebagai berikut :

1. Sekolah dan Guru Ramah.
Perwujudan sekolah ramah (welcoming school) dan guru yang ramah (welcoming teacher) merupakan syarat utama dalam mengembangkan model layanan pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan. Sekolah dan guru ramah adalah sekolah dan guru yang tidak diskriminatif terhadap kondisi kecerdasan, fisik, sosial, emosi, kepercayaan, ras atau suku, golongan keyakinan, serta memahami dan menerima kebegaraman, mengutamakan pengembangan potensi siswa sesuai dengan bakat, minat dan karakteristiknya. Sekolah dan guru ramah merupakan sekolah dan guru yang mengakui keberagam manusia sebagai anugerah Yang Maha Kuasa – sekolah dan guru yang mengakui eksistensi manusia, sekolah dan guru dan memiliki keyakinan bahwa semua individu manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan memahami bahwa setiap individu manusia memiliki harapan, bakat, minat yang berbeda-beda. Sekolah dan guru demikian akan melayani dan memperlakukan siswa dalam pembelajarannya sesuai dengan harapan, bakat, minatnya.

2. Pusat Sumber (Resource Center) dan sarpras.
Pusat sumber (Resource center) adalah lembaga khusus yang ditunjuk atau dibentuk oleh pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai pusat sumber dalam pengembangan pendidikan kebutuhan khusus atau pendidikan inklusif atau yang didirikan atas inisiatif masyarakat yang dapat dimanfaatkan oleh semua anak khususnya peserta didik berkebutuhan khusus, orang tua, keluarga, sekolah biasa/ sekolah luar biasa, masyarakat dan pemerinta serta pihak lain yang berkepentingan.
Pusat sumber idealnya bertempat di gedung sendiri yang dibangun oleh pemerintah dan atau masyarakat/swasta yang digunakan secara khusus sebagai Resource Center, namun karena untuk mempercepat keberadaannya dan pemanfaatannya serta dalam rangka efektivitas dan efisiensi maka Sekolah Luar Biasa yang telah ada dijadikan sebagai Resource Center saat ini SLB yang dijadikan Pusat Sumber disebut juga dengan Sentra Pendidikan Khusus (PK) dan Pendidikan Layanan Khusus (PLK).

3. Perluasan Peran dan Tugas SLB
Semua Sekolah Luar Biasa (SLB) bisa menjadi dan harus menjadi resource center (pusat sumber) bagi lingkungan pendidikan umum (inklusi) di sekitar sekolah tersebut. Masyarakat pendidikan dan masyarakat umum, sesungguhnya sangat membutuhkan kehadiran SLB sebagai resource center. Mereka berharap mampu menjalin hubungan kerja sama bagi kebutuhan layanan pendidikan yang mereka terapkan. Pusat sumber ini berfungsi sebagai tempat untuk menyediakan berbagai kebutuhan yang diperlukan oleh para guru, orangtua, dan yang paling utama adalah siswa di sekolah-sekolah umum yang sudah terbuka bersedia menerima siapa saja termasuk anak-anak berkelainan untuk bersekolah dan belajar.
Mewujudkan SLB sebagai pusat bagi penyelenggaraan pendidikan inklusi memang sebuah tantangan. SLB harus berperan secara aktif dalam merangkul dan bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang telah mengadposi konsep inklusi yang berada di lingkungan sekitarnya, hal ini dapat dilakukan dengan mengirimkan guru-guru kunjung, melakukan pelatihan atau seminar mengenai penanganan ABK, atau dengan merekomendasikan anak-anak tertentu agar dapat ditempatkan di sekolah tersebut.
Sekolah dapat memilih bidang-bidang tertentu yang menjadi kompetensi sekolah dan diyakini mampu untuk diekspos untuk mewujudkan SLB sebagai pusat sumber. Misalnya, sebuah sekolah yang menyakini diri mampu dengan baik menangani anak autis dengan program-program tertentu, maka sekolah tersebut dapat menjadi pusat sumber bagi pendidikan anak autis. Atau sebuah sekolah yang memiliki sumber daya manusia dan sumber daya material terhadap program BKPBI, maka sekolah tersebut dapat lebih fokus sebagai resource center bagi program BKPBI. Idealnya, SLB harus dapat menjadi pusat sumber untuk semua elemen layanan pendidikan. Pengembangan sayap terhadap elemen-elemen yang lebih luas tentunya dapat dilakukan SLB secara bertahap. Pengelolaan SLB sebagai pusat sumber secara terstruktur dapat dipandu oleh lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan SLB.

4. Kemitraan dengan lembaga berkait
Penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat terselenggara sesuai dengan harapan apabila sekolah mengembangkan kemitraan dengan lembaga-lembaga berkait atau kementerian-kementerian terkait, misalnya dengan kementerian kesehatan dalam pemeriksaan kesehatan fisik, kementerian sosial dalam bantuan asesibililitas, kementerian perindustrian dalam mengembangkan kecakapan vokasional, kementerian hukum dan HAM dalam perlindungan hukum dan kementerian tenaga kerja dalam rangka perluasan kesempatan pekerjaan dan pengembangan karir.

5. Dukungan orangtua
Dukungan orangtua dan kerjasama dengan sekolah sangat diperlukan dalam melayani kebutuhan belajar anak di sekolah dalam upaya optimalisasi potensi anak, kerjasama yang erat antara orangtua dan guru dapat menghasilkan solusi terbaik dalam melayani kebutuhan belajar anak di sekolah. Keterlibatan orangtua secara aktif terhadap pendidikan anak di sekolah, sangat penting dalam kaitannya dengan negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak, baik di sekolah maupun di rumah. Keterlibatan orangtua dalam pendidikan, biasanya terbatas pada urusan pembiayaan operasional sekolah, kurang menyentuh pengembangan kebutuhan pembelajaran anak. Oleh karena itu, keterlibatan atau dukungan orangtua perlu dikembangkan terhadap persoalan pendidikan yang lebih luas, apabila akses orangtua ke sekolah lebih terbuka, permasalahan-permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan yang dihadapi anak segera dapat ditanggulangi.

6. Wadah Profesional Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah
Peningkatan mutu pendidikan telah menjadi kebijaksanaan pemerintah yang harus diwujudkan sebaik-baiknya. Usaha ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Dalam usaha peningkatan mutu pendidikan, faktor guru memegang peranan yang sangat penting, karena itu profesionalisme guru harus digalang secara sistematis melalui wadah-wadah pembinaan professional guru seperti KKG, KKKS, KKPS, MGMP, MKKS, dan MKPS). Diharapkan melalui wadah profesional ini dapat meningkatkan motivasi, inovasi dan kreasi guru sera memiliki skill yang baik sehingga dapat memberikan layanan yang optimal kepada semua peserta didik (Total Quality Services) secara khusus dan dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan (Total Quality Management) khususnya dalam upaya mengimplementasikan pendidikan inklusif.



Penutup
Perkembangan layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus perlu ditopang dan didukung oleh berbagai pihak-pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat secara umum yang sungguh-sungguh berkomitmen tinggi dan saling terjalin kemitraan sehingga konsep Education For All pada akhirnya dapat dinikmati oleh seluruh generasi penerus Indonesia tanpa ada pengecualian.
Salah satu kunci kesuksesan pendidikan inklusi adalah dengan berperannya seluruh aspek sebagai support system yang komprehensif dan berfungsi secara optimal.



Sumber :

Sunardi (2009). Issues And Problems On Implementation Of Inclusive Education For Disable Children In Indonesia. Tsukuba: Criced – University Of Tsukuba.

Drs. Sunaryo (2010). Manajemen Pendidikan Inklusif (Konsep, Kebijakan, Dan Implementasinya Dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa). Http://Jurusanplb.Blogspot.Com/2010/07/Manajemen-Pendidikan-Inklusif-Konsep.Html

D.W. Yanti (2010). Prinsip-Prinsip Pembelajaran Di Sekolah Inklusi - Tuna Laras. Tersedia Di: Http://Www.Bintangbangsaku.Com/Content/Prinsip-Prinsip-Pembelajaran-Di-Sekolah-Inklusi-Tuna-Laras