Diterjemahkan dan disarikan oleh :
Pendidikan Inklusi menjadi salah satu perhatian dan populer
di berbagai kalangan baik di lingkungan pendidikan di daerah maupun pusat di Amerika
Serikat. Sebagian besar
perhatian itu dikhususkan
pada
dampak
pendidikan inklusi pada siswa disabled
(disabled). Di sini kita ingin mempertimbangkan dampak
dari pendidikan inklusi pada siswa yang
tidak memiliki kebutuhan khusus (non-disabled).
Dalam diskusi tentang dampak pendidikan
inklusi bagi siswa non-disabled, secara umum muncul tiga hal kekhawatiran yang dimungkinkan akan terjadi.
1.
Apakah
pendidikan inklusi mengurangi kemajuan akademis siswa-siswa non-disabled?
Beberapa penelitian
telah menggunakan desain kuasi-eksperimental untuk membandingkan kemajuan anak non-disabled di kelas inklusif dengan
anak-anak non-disabled di
kelas yang tidak terdapat siswa disabled. Penelitian-penelitian tersebut konsisten membuktikan tidak adanya perlambatan kemajuan secara akademis pada anak-anak non-disabled
di kelas inklusif. Misalnya studi yang dilakukan oleh Odom dan rekan (1984) yang membandingkan perkembangan kemampuan kognitif, bahasa dan sosial kelompok siswa non-disabled di kelas inklusif dan bukan inklusif membuktikan
tidak adanya perbedaan yang
signifikan pada perkembangan
kedua
kelompok tersebut.
Penelitian lain mengungkap
pula tidak adanya hambatan kemajuan
perkembangan pada siswa non-disabled yang berada di
lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini (Bricker Dkk. 1982).
Selain itu sebuah survei yang dilakukan kepada orang tua dan guru di sekolah inklusi ditemukan bahwa kedua belah pihak memiliki pandangan yang
positif tentang program inklusif dan tidak terbukti
adanya hambatan kemajuan perkembangan pada
anak non-disabled
(Bailey dan Winton 1989, Giangreco et al. Tahun 1993, Green dan Stoneman 1989, Peck dkk. 1992).
2.
Apakah anak-anak non-disabled kehilangan waktu dan
perhatian dari
guru?
Meskipun banyak pihak
telah menyuarakan kekhawatiran mereka bahwa guru kelas mungkin akan dipaksa untuk mencurahkan terlalu banyak waktu
untuk memperhatikan
anak-anak disabled (Peck et al. 1989, Shanker 1994), namun
ada penelitian yang langsung
menyelidiki masalah ini secara mendalam yang dilakukan oleh Hollowood dan rekan (1994) yang meneliti dengan membandingkan alokasi waktu pembelajaran dan partisipasi
siswa non-disabled
di kelas yang terdapat siswa disabled
dengan kelompok siswa di kelas yang
tidak terdapat siswa disabled. Temuan mereka menunjukkan bahwa kehadiran siswa disabled tidak berpengaruh pada tingkat alokasi
waktu dan partisipasi mereka. Temuan
ini didukung oleh hasil survei kepada guru
dan orang tua yang memiliki pengalaman langsung dengan kelas inklusif yang
dilakukan oleh Helmstetter dan rekan
(1993) dengan
mensurvei sampel 166 siswa SMA yang terlibat
di kelas inklusif baik
di daerah pedesaan, pinggiran kota, dan kota
besar dengan hasil siswa-siswa
tersebut tidak percaya bahwa keberadaan mereka dalam kelas inklusif telah menyebabkan mereka
kehilangan pengalaman pendidikan berharga lainnya.
3.
Apakah siswa non-disabled
belajar perilaku yang tidak diinginkan dari siswa disabled?
Pengamatan yang
dilakukan terhadap anak-anak di kelas
inklusif menyimpulkan bahwa
ini jarang terjadi. Dalam satu survei kepadaorang tua dan guru menunjukkan bahwa anak-anak non-disabled tidak
meniru perilaku yang tidak
diinginkan yang muncul dari
anak-anak disabled (Peck et al. 1992). Sedangkan Staub et al. (Dalam pers, 1994) melakukan wawancara dan pengamatan kepada orang tua dan guru selama dua tahun berturut-turut, hasilnya
menunjukkan bahwa siswa non-disabled tidak memperoleh perilaku yang tidak diinginkan atau
maladaptif dari rekan-rekannya yang disabled.
Potensi Kemanfaatan Pendidikan
Inklusi
Meskipun para guru
dan orang tua mengungkapkan kekhawatiran mereka sebelum inklusi diimplementasikan, namun bagi mereka yang telah terlibat dalam
pendidikan inklusi pada akhirnya merasakan
manfaat hubungan anak-anak mereka yang non-disabled
dengan individu disabled (Biklen et al. Tahun 1987, Murray-Seegert 1989, Peck dkk.
1989). Dari hasil tinjauan kami, dapat disimpulkan lima hal positif
dari pendidikan inklusi tersebut,
1. Mengurangi kekhawatiran dalam menyikapi perbedaan
karakteristik
setiap individu disertai dengan
peningkatan kenyamanan dan kesadaran menerima keberagaman.
2. Meningkatkan
toleransi dan jiwa sosial
terhadap lingkungan sekitar.
3. Membantu
dalam proses pembentukan konsep
diri.
4. Pengembangan prinsip-prinsip pribadi yang positif.
5. Membantu
siswa belajar lebih hangat,
ramah dan penuh perhatian dalam
persahabatan.
Meskipun penelitian-penelitian
ini sangat terbatas, namun
dapat kita interpretasikan adanya konsistensi yang muncul pada masing-masing
penelitian yang menunjukkan bahwa
inklusi tidak membahayakan tetapi justru memberikan manfaat positif
bagi anak-anak non-disabled. Kami
juga setuju dengan sebagian besar guru dan administrator yang
kami wawancarai bahwa untuk menyadari manfaat dari inklusi bagi semua siswa, mereka membutuhkan mediasi aktif dari guru serta sumber-sumber lain untuk mendukung penempatan siswa disabled di kelas reguler (Peck et al. 1993).
Asumsi pokok
berdasarkan berbagai hasil penelitian diatas menyimpulkan bahwa tujuan inklusi sangat relevan dengan kebutuhan
semua anak. Perkembangan semua anak dapat meningkat seiring
berkembangnya tingkat sense of belonging (rasa memiliki) dan kepedulian siswa terhadap seluruh individu
di sekolah (Noddings 1984). Walaupun
saat ini masih banyak kontroversi yang
muncul tentang pendidikan
inklusi, hal ini mencerminkan masih perlu adanya usaha
yang lebih mengikat pada bagaimana mengembangkan nilai-nilai kehidupan dan etika
bermasyarakat dalam bentuk kebijakan publik di bidang pendidikan.