Friday, March 23, 2007

PENDEKATAN MULTISENSORI DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN KATA ANAK AUTIS


“PENERAPAN PENDEKATAN MULTISENSORI DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN MAKNA KATA
PADA ANAK AUTIS”
(Studi Eksperimen Single Subject Research
Terhadap Siswa Kelas I SD Bintang Harapan Bandung)


A. LATAR BELAKANG

Komunikasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam kehidupan bersosialisasi. Dengan komunikasi manusia dapat mengungkapkan berbagai pendapat atau ide serta menangkap ide atau pendapat dari orang lain.
Begitu pula halnya dengan anak-anak atau individu yang di diagnosis mengalami autis perlu melakukan komunikasi yang tepat agar kemampuan sosialisasi mereka semakin berkembang. Pada anak autistik, mereka mengalami kelainan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus ke IV dan VII, dimana otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Dikarenakan kelainan yang dialami di pusat bahasanya maka sebagian besar anak autistik akan mengalami gangguan dalam berbahasa/berkomunikasi. Mereka memiliki kecenderungan melakukan tindakan yang stereotropik atau mengikuti tindakan orang lain yang persis sama tanpa memiliki tujuan yang jelas. Dalam berbicarapun mereka berperilaku membeo (echolalia) atau meniru ucapan orang lain tanpa memahami makna dari ucapan tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan faktor yang terdapat dalam komunikasi yang pada hakekatnya, terdapat 2 unsur penting dalam berkomunikasi, yaitu ; pertama, seseorang harus menggunakan bentuk bahasa yang bermakna bagi orang yang diajak berkomunikasi, dan. kedua, dalam berkomunikasi seseorang harus memahami bahasa yang digunakan oleh orang lain (Hurlock, 1987 :176).
Disadari atau tidak, untuk memperoleh ketrampilan berkomunikasi yang tepat, pemahaman akan makna kata sangat menentukan, dengan pemahaman akan makna kata yang baik, maka seseorang akan dapat melakukan komunikasi dua arah dengan baik, karena dengan kata-kata seseorang dapat mengungkapkan apa yang di lihat, di dengar, dirasakan, dan di lakukan ke dalam simbol-simbol bahasa serta menangkap berbagai informasi baik lisan maupun tulisan.
Pada anak autistik, diperlukan metode yang tepat dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi yang menitik beratkan pada kemampuan pemahaman akan kata yang mereka dengar (reseptif) atau mereka ucapkan (ekspresif). Metode yang diterapkan hendaknya tidak hanya menstimulus salah satu modalitas/indera saja, akan tetapi harus mencakup keseluruhan modalitas yang dimiliki oleh anak. Hal ini di dukung oleh pendapat Supartina (Edja, 1995 :15) yang mengemukakan :

“semakin banyak benda yang dilihat, didengar, diraba, atau dimanupulis, dirasa, dan dicium, maka akan makin pesat berlangsungnya perkembangan persepsi dan makin banyak tanggapan yang diperoleh maka makin pesat pulalah perkembangan bahasanya”.

Dalam kegiatan pembelajaran perlu dicobakan dengan menggunakan pendekatan multisensori, yang merupakan suatu alternatif dalam mengembangkan kemampuan komunikasi anak melalui pemahaman makna kata. Pendekatan multisensori ini dilakukan berdasarkan prinsip pengamatan terhadap berbagai indera-indera secara terpadu melalui modalitas sensori yang dimiliki seseorang.
Penelitian yang relevan yang telah dilakukan sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Suharyati (2005) membuktikan bahwa penerapan pendekatan multisensori dalam pembelajaran bahasa dapat meningkatkan kemampuan kosa kata siswa Tunarungu. Selain itu Wita Astuti (2006) menemukan bahwa penerapan pendekatan VAKT (multisensori) efektif untuk meningkatkan kemampuan pengucapan kata benda yang sekaligus meningkatkan kemampuan pemahaman nama-nama benda pada anak Tunagrahita. Maka metode multisensori ini juga sesuai dengan karakteristik anak autistik yang mudah memahami sesuatu yang bersifat konkrit (dapat di lihat, di rasa dan di raba) daripada hal-hal yang bersifat abstrak. Selain itu, anak autistik mengalami kesulitan dalam merangkai informasi dan memahami bahasa verbal/lisan atau bahasa yang mereka terima melalui indera pendengaran.
Pada kondisi di lapangan, khususnya tempat dimana peneliti melakukan observasi yaitu di Sekolah Bintang Harapan Bandung, terlihat bahwa pendekatan multisensori jarang digunakan dalam meningkatkan pemahaman akan kata yang dikuasai anak, di dalam penerapan pendekatan multisensori dirasakan sulit dilakukan guru terhadap siswa, hal ini berkaitan dengan terbatasnya sarana penunjang serta petunjuk praktis dari tehnik pendekatan multisensori itu sendiri.
Pada kasus yang ditemukan oleh peneliti, anak cenderung masih berperilaku membeo (echolalia), khususnya apabila anak mendengar kata yang jarang atau baru didengarnya. Apabila ditunjukkan benda anak masih kesukaran untuk menyebutkannya, dan sering memberikan istilah yang lain untuk benda yang sejenis, misalnya untuk “susu” anak menyebutkan kata “milo”, sedangkan kemampuan artikulasi anak sudah baik.
Berdasarkan berbagai pemikiran diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Penerapan pendekatan multisensori dalam meningkatkan pemahaman makna kata pada anak autistik.

B. RUMUSAN MASALAH
Meningkatkan pemahaman akan makna kata pada anak autistik dibutuhkan metode atau pendekatan yang tepat, sehingga anak dapat dengan mudah memahami kata-kata, baik yang didengarnya (reseptif) maupun yang diucapkannya (ekspresif). Berdasarkan hasil studi pendahuluan, anak mampu menirukan beberapa nama benda, akan tetapi masih kesulitan dalam memahami kata-kata benda yang ditirunya. Oleh karenanya muncul pertanyaan : Apakah penerapan pendekatan multisensori dapat meningkatkan kemampuan pemahaman anak autistik pada nama-nama benda?

C. TUJUAN PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian ini berupaya untuk menerapkan pendekatan multisensori dalam meningkatkan pemahaman anak autistik pada makna kata. Sehingga pada akhirnya penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh penerapan pendekatan multisensori terhadap pemahaman makna kata pada anak autistik.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan pendidikan luar biasa, khususnya menyangkut pengetahuan tentang penerapan pendekatan multisensori dalam meningkatkan pemahaman makna kata anak autistik.
2. Manfaat Praktis
b. Bagi pihak sekolah terutama guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan metode dalam meningkatkan pemahaman makna kata pada anak autistik.
c. Bagi siswa, penerapan pendekatan multisensori diharapkan dapa meningkatkan kemampuan anak dalam memahami kata-kata baik yang didengar maupun yang diucapkannya.



E. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
Variabel merupakan istilah dasar dalam penelitian eksperimen termasuk penelitian dengan subjek tunggal. Variabel merupakan suatu atribut atau ciri-ciri mengenai sesuatu yang dapat berbentuk benda atau kejadian yang dapat diamati dan diukur. Adapun dalam penelitian ekperimen terdapat variabel terikat dan variabel bebas.
a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerapan pendekatan multisensori. Definisi operasional variabel dari pedekatan multisensori adalah pendekatan yang melibatkan seluruh alat indera untuk menerima informasi baik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman maupun kinestetik. Pendekatan multisensori pada penelitian menggunakan 3 pengindraan sampai lebih. Langkah-langkah operasionalnya adalah sebagai berikut :
1. Anak diminta untuk melihat benda.
2. Anak diminta untuk memegang benda.
3. Anak diminta untuk meraba keseluruhan sisi benda.
4. Anak mendengarkan bunyi-bunyi yang dapat dihasilkan oleh benda (Peneliti menciptakan bunyi-bunyi dari benda).
5. Peneliti menyebutkan nama benda.
6. Anak menirukan ucapan peneliti menyebutkan benda.
7. Anak melihat gambar benda pada kartu.
8. Peneliti mengucapkan nama benda tersebut.
9. Anak menirukan ucapan peneliti dengan menyebutkan nama benda.
10. Anak diperlihatkan pada benda dan gambar benda.
11. Peneliti menjelaskan bahwa benda yang ada pada gambar sama dengan benda yang aslinya.
12. Peneliti menjelaskan secara sederhana ciri-ciri benda konkrit dan benda yang ada pada gambar.
b. Variabel terikat atau target behavior dalam penelitian ini adalah meningkatkan pemahaman makna kata dengan indikator kemampuan anak autistik memahami nama-nama benda. Kemampuan memahami kata atau nama benda disini dapat diartikan sebagai kemampuan dalam menghubungkan kata dengan benda yang dimaksud serta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan oleh peneliti.

F. KERANGKA TEORI
1. Pendekatan Multisensori
Pendekatan ini dikenal juga sebagai pendekatan system fonik-visual-auditory-kinestetik. Pendekatan ini dikembangkan oleh Gillingham dan Stillman (Gearheart, 1976:93). Pada dasarnya pendekatan ini sangat baik digunakan dalam belajar membaca, khususnya membaca permulaan. Akan tetapi pendekatan ini dapat juga digunakan dalam meningkatkan pemahaman akan bahasa baik yang didengar maupun yang diucapkan oleh orang lain sebelumnya.
Pendekatan multisensori ini dilakukan berdasarkan prinsip pengamatan terhadap berbagai indera-indera secara terpadu yang dimiliki oleh seseorang. Multisensori artinya memfungsikan seluruh indera sensori (indera penangkap) dalam memperoleh kesan-kesan melalui perabaan, visual, perasaan, kinestetis, dan pendengaran (Tarmansyah, 1995:143). Dengan mengembangkan berbagai kemampuan pengamatan yang dimiliki oseseorang, guru memberikan rangsangan melalui berbagai modalitas sensori yang dimilikinya. Berkaitan dengan masalah sensori Prayitno, E. (1993:23) menyatakan bahwa: “makin banyak indera anak yang terlibat dalam proses belajar maka makin mudah dan pahamlah anak dengan apa yang dipelajari”. Pendapat itu didukung Amin, M (1995:222) yang mengungkapkan bahwa: “melatih sensori motor atau penginderaan merupakan suatu pekerjaan yang memiliki arti yang sangat penting dalam pendidikan”.
2. Anak Autistik
Kata autis menurut Judarwanto (2006) berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau bahkan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain, dan sebagainya). Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa, cara berkomunikasi yang aneh Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia (Judarwanto, 2006).
3. Makna Kata
Kata “makna” menurut Kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2000:703) dapat diartikan sebagai 1) arti; 2) maksud pembicara atau penulis, dan 3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Menurut Tarmansyah (1996: 67) “makna adalah isi yang terkandung dalam ujaran hingga dapat menghasilkan rekasi tertentu”. Sedangkan dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 2000: 513), “kata” diartikan sebagai :
1) unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa, 2) ujar; bicara. 3) satuan (unsur bahasa yang terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka “makna kata“ dapat diartikan sebagai pengertian dari suatu kata yang jelas dan tepat yang yang diujarkan sesuai dengan yang dimaksud oleh pikiran dan perasaan sehingga dapat menghasilkan reaksi tertentu.

G. ANGGAPAN DASAR
Anggapan dasar adalah titik tolak pemikiran peneliti, atau suatu pernyataan atau teori atau asumsi yang diyakini kebenarannya oleh peneliti. Menurut Arikunto (2002:61). “Anggapan dasar adalah suatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti dan harus dirumuskan secara jelas yang akan berfungsi sebagai hal-hal yang dapat dipakai untuk berpijak bagi peneliti dalam melaksanakan penelitiannya”. Berdasarkan pandangan tersebut, beberapa dasar pijakan pemikiran yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah :
1. Metode dalam pengajaran anak autistik adalah metode yang memberikan gambaran konkrit tentang “sesuatu” sehingga anak dapat menangkap pesan, informasi dan pengertian tentang “sesuatu” tersebut (Dikdasmen Depdiknas, 2004).
2. Keberhasilan belajar sangat bergantung kepada keterlibatan semua alat penginderaan (Widjaya C 1995 : 112).
3. Media yang sangat membantu dalam menjelaskan makna kata adalah bentuk asli dan tiruan atau miniatur baik yang berbentuk dua dimensi (gambar) maupun tiga dimensi (audio visual kinestetik) yaitu yang bias dilihat, didengar, dan diraba, sehingga dapat membantu guru agar proses belajar siswa lebih efektif dan efisien (Lanali Awwah, 2007 : 71).
4. Kualitas ketrampilan berbahasa seseorang sangat bergantung kepada pemahaman makna yang dimilikinya (Tarigan, 1983:2).

H. METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan atau pemecahan suatu masalah yang sedang dihadapi, yang dilakukan secara harfiah, sistematis dan logis.
Metode penelitian ini bersifat eksperimen, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk memperoleh data yang diperlukan dengan melibatkan hasil ada tidaknya akibat dari suatu perlakuan (treatment). Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan subjek penelitian tunggal (single subject research).
Desain penelitian yang digunakan adalah desain A-B-A, dimana desain ini dapat menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas. Desain ini memiliki tiga tahap:A-1 (baseline-1), B(treatment), A-2(baseline-2).
• A - 1 = baseline-1 yaitu suatu gambaran murni sebelum diberikan perlakuan (treatment).
• B = Treatment, yaitu suatu gambaran mengenai kemampuan yang dimiliki subjek setelah diberikan perlakuan secara berulang-ulang dengan tujuan melihat hasil setelah perlakuan diberikan. Treatment yang diberikan adalah penerapan pendekatan multisensori dalam mengembangkan pemahaman anak akan kata yang didengar atau diucapkannya.
• A – 2 = baseline-2, yaitu suatu gambaran tentang adanya hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel terikat.

I. PROSEDUR EKSPERIMEN
Prosedur yang dilaksanakan dalam desain A-B-A ini adalah :
1. Menentukan dan menetapkan perilaku yang akan diubah sebagai target behavior yaitu kemampuan memahami kata pada pengucapan kata-kata.
2. Mengidentifikasi variabel bebas, yaitu pendekatan multisensori. Pendekatan multisensori merupakan pendekatan yang melibatkan seluruh alat indera untuk menerima informasi-informasi baik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman maupun kinestetik.
3. Mengidentifikasi variabel terikat, yaitu kemampuan memahami kata benda. Variabel terikat disebut juga target behavior. Target behavior yang ingin dicapai melalui pendekatan multisensori adalah memahami kata benda yang diucapkan dan dan didengar.
4. Menetapkan kata-kata benda yang belum dikuasai anak, hal ini dilakukan dengan cara melakukan pengetesan secara langsung, serta berdasarkan hasil wawancara dengan guru dan orang tua.
5. Menetapkan kemampuan dasar anak memahami makna kata benda. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada perubahan pemahaman kata benda dengan mengunakan pendekatan multisensori selama 30 menit per pertemuan.
6. Memberikan pendekatan multisensori terhadap subjek penelitian selama 30 menit per pertemuan.
7. Mengukur kembali kemampuan anak dalam memahami kata benda setelah dilakukan penerapan pendekatan multisensori. Pengukuran dilakukan selama 30 menit per pertemuan.

J. LATAR DAN SUBJEK PENELITIAN
1. Latar Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SD Bintang Harapan Bandung, dengan alasan sekolah ini adalah salah satu sekolah inklusif di Bandung yang memiliki siswa-siswa yang mengalami gangguan dalam konsentrasi, sosial, bahasa, hiperaktif dan autistik.
2. Subjek Penelitian
Subjek dari penelitian adalah siswa kelas I SD Bintang Harapan Bandung berinisial M. dengan karakteristik antara lain sering meracau, echolalia, kontak mata yang sangat kurang, kemampuan artikulasi baik, serta senang dengan benda-benda yang berwarna khususnya mainan.







DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (1997). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Astuti, Wita (2006). Efektifitas Penggunaan Metode VAKT Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara Anak Tunagrahita. Skripsi Sarjana Pendidikan Luar Biasa FIP UPI Bandung. Tidak diterbitkan.
Awwah, Lanali (2006) “Upaya Guru Dalam Menjelaskan Makna Kata Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia. Skripsi Sarjana Pendidikan Luar Biasa FIP UPI. Tidak diterbitkan
Buchari (1995) Kontribusi Kosa Kata Dan Penguasaan Struktur Kalimat Terhadap Kemampuan Mengarang. Tesis Pasca Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia FPBS UPI Bandung. Tidak diterbitkan
Deddikbud (2000) Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:Depdikbud
Handojo,Y (2002) Autisma Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Judarwanto, Widodo (2006) Deteksi Dini dan Skrening Autis. Jakarta (online). Tersedia di : http://www.puterakembara.com
Sadja’ah.Edja, Sukarja. Dardjo (1995) Bina Bicara, Persepsi Bunyi dan Irama. Bandung: Depdikbud
Suharyati (2005) Multisensori Dalam Pembelajaran Bahasa Ujaran pada Siswa Tunarungu. Skripsi Sarjana PLB FIP UPI Bandung : Tidak Diterbitkan
Sunanto, Juang.Takeuchi, Koji. Nakata, Hideo (2005) Pengantar Penelitian dengan Subjek Tunggal. CRICED Univercity Of Tsukuba Japan.
Tarmansyah (1996) Gangguan Komunikasi. Bandung: Depdikbud Dikti: Tidak diterbitkan.

1 comment:

Unknown said...

heey... i left comment becaue i've read your bLog ;) --aTa--